Pages

Wednesday, November 25, 2015

Pertarungan Ideologi (III)



Ekonomi politik merkantilis awal tegas menekankan sentralitas politik. Ekonomi tidak dipisahkan dari konteks politiknya, justru dipandang sebagai sarana penting untuk meningkatkan kekuatan negara. Negara harus kuat untuk menerapkan proteksionisme guna menopang surplus neraca pembayaran dalam rangka meningkatkan suplai uang dan menstimulasi perekonomian. Pandangan yang mengutamakan politik ini mendominasi pemikiran ekonomi politik sebelum munculnya pemikiran Adam Smith, terutama pada abad keenam belas dan ketujuh belas. Meski telah kehilangan vitalitasnya, pandangan merkantilis masih mendominasi kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa hidup Smith. Penerimaan terhadap paham ini bisa dimengerti secara sosiologis mengingat ia berkembang bersamaan dengan kebangkitan negara modern. Kendati demikian, pandangan ini mulai menjadi anomali yang membingungkan.
Para teoretisi liberal mendefinisikan ulang ekonomi politik. Dengan berfokus pada logika dan konsekuensi kegiatan ekonomi, mereka menggoyahkan teori merkantilis. Kaum liberal generasi awal tidak sepenuhnya memisahkan eknomi dari politik, sesuatu yang sering dilakukan para ekonom neoklasik kontemporer. Mereka memahami bahwa kebijakan ekonomi dimasuki oleh kepentingan-kepentingan partikularistik. Kendati demikian, kaum liberal berpandangan bahwa pembangunan ekonomi dan transformasi ekonomi tidak bisa dicapai apabila kepem-kepentingan politik yang mengakar terus mengganggu kekuatan pasar. Lagi pula, jika pasar dibiarkan berfungsi secara bebas, kepentingan politik yang lebih luas sebagian besar, jika bukan seluruh, masyarakat akan bisa dilayani dengan lebih baik. Dengan demikian liberalisme membalik rumusan merkantilis dan menganjurkan bahwa pertimbangan ekonomi pada akhirnya dapat menyelesaikan konflik-konflik kepentingan.
Adam Smith (1723–1790), yang dikenal luas dengan bukunya berjudul The Wealth of Nations, adalah pemikir paling terkemuka dalam mengkritik ortodoksi merkantilis dan menciptakan pendekatan baru bagi pemahaman ekonomi politik. Sebagaimana disampaikan di atas, meski kehilangan vitalitasnya teori merkantilis masih mendominasi kebijakan ekonomi pada masa hidup Smith (bahkan masih berlanjut lama sesudahnya), oleh karena itulah harus mengawali langkahnya dengan mengkritik habis-habisan merkantilisme. Pemikiran Smith, yang langsung menusuk jantung persoalan dengan menganalisis sifat kekayaan, oleh George T. Crane dan Abla Amawi diuraikan secara ringkas sebagai berikut.
Bagi Smith kekayaan bukan hanya sebuah fungsi dari jumlah emas dan perak dalam perbendaharaan negara. Kekayaan justru mengalir dari kapasitas produktif umum suatu perekonomian. Kekayaan nasional, dan dengan demikian juga kekuasaan, hanya bisa meningkat melalui pertumbuhan ekonomi menyeluruh. Untuk mewujudkan tujuan ini, negara tidak boleh mengintervensi pasar. Perolehan produktif memperoleh jaminan terbesar dari orang-orang egois rasional mengejar secara leluasa kepentingan-kepentingan material individu. Pada tataran internasional perolehan-perolehan produktif semacam itu tidak mesti bersifat zero-sum. Jika imbalan produktivitas inheren suatu pasar bebas diperbolehkan menyebar ke seluruh dunia melalui perdagangan bebas, kemakmuran semua bangsa akan terjamin.
Smith menjabarkan lebih lanjut landasan pemikiran bagi perdagangan bebas. Pada tataran dalam negeri, produksi yang efisien dan kemakmuran bertumpu pada pembagian kerja dan interdependensi ekonomi. Prinsip-prinsip ini berlaku juga pada perekonomian dunia: “apa yang baik dilakukan dalam setiap keluarga, hampir mustahil tidak baik dalam kerajaan besar.” Persis seperti agen-agen pemerintah tidak bisa mengelola secara efektif ribuan hubungan kait-mengait perekonomian nasional maka negara pun tidak boleh campur tangan dalam pasar dunia. Jika ditempatkan dalam sebuah perekonomian nasional yang tidak diatur, setiap negara akan mendapatkan sebuah ceruk produktif, sebuah keuntungan absolut atau komparatif. Pembagian kerja dapat, dan harus, direplikasi secara global. Meski begitu, Smith bukan penganut pandangan optimis tak realistis. Dia mafhum bahwa kepentingan-kepentingan tertentu, terutama pedagang, diuntungkan oleh proteksionisme dan akan bertarung untuk mempertahankan keuntungan yang mereka nikmati. Tetapi kepentingan-kepentingan spesifik ini jangan dikelirukan dengan kepentingan nasional yang lebih luas, yang dilayani dengan lebih baik oleh kemakmuran yang mengalir dari perdagangan bebas.
Smith tidak mengusung perdagangan bebas unilateral dan tanpa syarat. Dia mengajukan empat kualifikasi bagi argumennya. Pertama, perdagangan bebas bisa dibatasi oleh pertimbangan mendesak keamanan nasional. Smith bersimpati dengan Undang-Undang Navigasi dalam hal ini: “regulasi komersial Inggris paling bijaksana.” Kedua, bea harus dipungut atas barang-barang impor setara dengan pajak domestik atas produk-produk nasional guna menghindari penawaran yang terlalu menguntungkan bagi impor. Ketiga, bea bisa diberlakukan sebagai tindakan balasan terhadap pembatasan tidak wajar di pasar luar negeri tetapi hanya sebagai cara memaksa negara-negara lain untuk membatalkan bea yang mereka terapkan. Akhrinya, perdagangan bebas harus dilaksanakan secara bertahap sehingga industri dan tenaga kerja domestik mempunyai waktu untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan terhadap kompetisi internasional yang bertambah sengit. Oleh karena itulah Smith melunakkan argumennya dengan pemahaman tentang praktik merkantilis yang berlaku dan realitas politik domestik.
David Ricardo (1772-1823) bertumpu pada, meski kemudian menjauhi, pandangan Smith. Ricardo juga memandang adanya kepentingan-kepentingan politik di balik kebijakan-kebijakan ekonomi yang ada. Bedanya, Smith menentang para pelaku bisnis merkantilis, sedangkan Ricardo memandang tuan tanah lebih merusak bagi kemajuan ekonomi. Pertimbangannya terkait erat dengan konsep sewa, upah, dan laba. Menerima pengertian Thomas Malthus tentang sumber daya yang terbatas (satu dari sedikit hal yang disepakati dua orang yang berteman ini), Ricardo memperkirakan meningkatnya harga pangan yang akan menaikkan sewa untuk para tuan tanah. Harga pangan yang lebih mahal juga menyebabkan naiknya upah, merongrong laba yang diperoleh borjuasi yang sedang tumbuh. Keuntungan yang diraih tuan tanah adalah kerugian bagi industrialis. Tanpa laba yang memadai para pelaku bisnis tidak dapat menanam modal dan pembangunan perekonomian akan mengalami kesulitan. Pasar dunia menawarkan cara mengatasi hambatan pertanian bagi pembangunan. Maka Ricardo pun membuka bab-bab tentang perdagangan luar negeri dalam Principle of Political Economy and Taxation dengan diskusi tentang hubungan dagang dengan laba dan upah domestik. Perdagangan luar negeri menguntungkan secara nasional sejauh memberi sumbangan untuk menurunkan upah, yang pada gilirannya memberi peluang bagi peningkatan laba.
Bagaimanapun juga, untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya negara harus berkonsentrasi pada keunggulan komparatif. Contoh terkenal Ricardo tentang tekstil Inggris dan anggur Portugis menjadi dorongan kuat bagi spesialisasi ekonomi berdasarkan biaya komparatif dan pasar dunia yang terbuka. Dia cukup cermat dalam membangun argumen ini berkenaan dengan masalah ketimpangan pembayaran internasional. Dia mendapati bahwa kekuatan-kekuatan moneter tidak mengancam keunggulan komparatif berkat mekanisme arus uang logam yang mengoreksi diri sendiri (pendahulu teori kuantitas uang). Jika ada cacat dalam argumen yang panjang umur ini, barangkali itu adalah asumsi modal tidak bergerak dan tenaga kerja, kondisi-kondisi yang berubah dalam era korporasi transnasional dan transportasi modern.
Bagi Ricardo, perekonomian internasional tidak sama dengan perekonomian dalam negeri. Suatu perekonomian nasional dibatasi oleh oleh keterbatasan sumber daya dan konflik kepentingan; perekonomian dunia menawarkan jalan-jalan potensial pertumbuhan dan ekspansi. Dia tidak memperhitungkan terjadinya penyusutan global, sebuah kemungkinan yang sangat kecil pada masa hidupnya. Ringkasnya, meski berbeda dalam metodologi—teori abstrak Ricardo sangat bertolak belakang dengan gaya naratif Smith—mereka sepaham mengenai hasil-hasil positif perdagangan bebas.6

Demikianlah, tentu saja ini penafian (disclaimer), tulisan ini di-posting dengan tujuan membantu siapa saja mendapatkan kutipan-kutipan berikut sumbernya. Sehingga wajar jika tulisan ini tidak ketahuan ke mana arahnya dan tidak tuntas. Ini memang bukan pekerjaan yang sudah selesai. Setiap paragraf yang dilengkapi dengan catatan kaki bisa dipakai sebagai bahan tulisan dengan rujukan sumber yang dicantumkan. Hal ini saya lakukan karena kesal sering mengalami kesulitan mencari sumber rujukan dalam tulisan yang diunggah di Internet. Yang sering terjadi ketika saya copy paste beberapa kalimat dan menempelkannya ke kolom pencari Google, ketahuan bahwa kalimat-kalimat yang tidak disebutkan sumbernya, dengan demikian tampak seperti karya asli si pengunggah tulisan, tak lain adalah karya orang lain. Lebih celaka lagi, asal kalimat-kalimat itu adalah tulisan di blog (blogspot maupun wordpress) yang juga tidak mencantumkan sumbernya. Semoga bermanfaat. Salam.

Catatan:
1.   Chaim Potok, Wanderings: Chaim Potok’s History of the Jews, Fawcett Crest, New York, 1980, hlm. 1,19.
2.   Charles Le Gai Eaton, Islam and the Destiniy of Man, The Islamic Texts Society, Cambridge, United Kingdom, 2005, hlm. 29,31.
3.   Michel Beaud, History of Capitalism,  Monthly Review Press, New York, 2001, hlm. 13-15.
4.   Ibid.
5.   George T, Crane & Abla Amawi (ed), The Theoretical Evolution of International Political Economy, Second Edition, Oxford University Press, New York, 1997, hlm. 5.
6.   Michel Beaud, History of Capitalism,  Monthly Review Press, New York, 2001, hlm. 17.
7.   Ibid., hlm. 41.
8.   Ibid., 42, 43.
9.   George T. Crane dan Abla Amawi (ed), The Theoretical Evolution of International Political Economy, Oxfor University Press, New York, 1997, hlm. 55-57. 


evolusi teori ekonomi politik internasional

No comments:

Post a Comment