Ekonomi politik merkantilis awal tegas menekankan sentralitas politik.
Ekonomi tidak dipisahkan dari konteks politiknya, justru dipandang sebagai
sarana penting untuk meningkatkan kekuatan negara. Negara harus kuat untuk
menerapkan proteksionisme guna menopang surplus neraca pembayaran dalam rangka
meningkatkan suplai uang dan menstimulasi perekonomian. Pandangan yang
mengutamakan politik ini mendominasi pemikiran ekonomi politik sebelum
munculnya pemikiran Adam Smith, terutama pada abad keenam belas dan ketujuh
belas. Meski telah kehilangan vitalitasnya, pandangan merkantilis masih
mendominasi kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa hidup Smith. Penerimaan
terhadap paham ini bisa dimengerti secara sosiologis mengingat ia berkembang
bersamaan dengan kebangkitan negara modern. Kendati demikian, pandangan ini
mulai menjadi anomali yang membingungkan.
Para teoretisi liberal mendefinisikan ulang ekonomi politik. Dengan
berfokus pada logika dan konsekuensi kegiatan ekonomi, mereka menggoyahkan
teori merkantilis. Kaum liberal generasi awal tidak sepenuhnya memisahkan
eknomi dari politik, sesuatu yang sering dilakukan para ekonom neoklasik
kontemporer. Mereka memahami bahwa kebijakan ekonomi dimasuki oleh
kepentingan-kepentingan partikularistik. Kendati demikian, kaum liberal
berpandangan bahwa pembangunan ekonomi dan transformasi ekonomi tidak bisa
dicapai apabila kepem-kepentingan politik yang mengakar terus mengganggu
kekuatan pasar. Lagi pula, jika pasar dibiarkan berfungsi secara bebas,
kepentingan politik yang lebih luas sebagian besar, jika bukan seluruh,
masyarakat akan bisa dilayani dengan lebih baik. Dengan demikian liberalisme
membalik rumusan merkantilis dan menganjurkan bahwa pertimbangan ekonomi pada
akhirnya dapat menyelesaikan konflik-konflik kepentingan.
Adam Smith (1723–1790), yang dikenal luas dengan bukunya berjudul The Wealth of Nations, adalah pemikir
paling terkemuka dalam mengkritik ortodoksi merkantilis dan menciptakan
pendekatan baru bagi pemahaman ekonomi politik. Sebagaimana disampaikan di atas,
meski kehilangan vitalitasnya teori merkantilis masih mendominasi kebijakan
ekonomi pada masa hidup Smith (bahkan masih berlanjut lama sesudahnya), oleh
karena itulah harus mengawali langkahnya dengan mengkritik habis-habisan
merkantilisme. Pemikiran Smith, yang langsung menusuk jantung persoalan dengan
menganalisis sifat kekayaan, oleh George T. Crane dan Abla Amawi diuraikan
secara ringkas sebagai berikut.
Bagi Smith kekayaan bukan hanya sebuah fungsi dari jumlah emas dan perak
dalam perbendaharaan negara. Kekayaan justru mengalir dari kapasitas produktif
umum suatu perekonomian. Kekayaan nasional, dan dengan demikian juga kekuasaan,
hanya bisa meningkat melalui pertumbuhan ekonomi menyeluruh. Untuk mewujudkan
tujuan ini, negara tidak boleh mengintervensi pasar. Perolehan produktif
memperoleh jaminan terbesar dari orang-orang egois rasional mengejar secara
leluasa kepentingan-kepentingan material individu. Pada tataran internasional
perolehan-perolehan produktif semacam itu tidak mesti bersifat zero-sum. Jika imbalan produktivitas
inheren suatu pasar bebas diperbolehkan menyebar ke seluruh dunia melalui
perdagangan bebas, kemakmuran semua bangsa akan terjamin.
Smith menjabarkan lebih lanjut landasan pemikiran bagi
perdagangan bebas. Pada tataran dalam negeri, produksi yang efisien dan
kemakmuran bertumpu pada pembagian kerja dan interdependensi ekonomi.
Prinsip-prinsip ini berlaku juga pada perekonomian dunia: “apa yang baik
dilakukan dalam setiap keluarga, hampir mustahil tidak baik dalam kerajaan
besar.” Persis seperti agen-agen pemerintah tidak bisa mengelola secara efektif
ribuan hubungan kait-mengait perekonomian nasional maka negara pun tidak boleh
campur tangan dalam pasar dunia. Jika ditempatkan dalam sebuah perekonomian
nasional yang tidak diatur, setiap negara akan mendapatkan sebuah ceruk
produktif, sebuah keuntungan absolut atau komparatif. Pembagian kerja dapat,
dan harus, direplikasi secara global. Meski begitu, Smith bukan penganut
pandangan optimis tak realistis. Dia mafhum bahwa kepentingan-kepentingan
tertentu, terutama pedagang, diuntungkan oleh proteksionisme dan akan bertarung
untuk mempertahankan keuntungan yang mereka nikmati. Tetapi
kepentingan-kepentingan spesifik ini jangan dikelirukan dengan kepentingan
nasional yang lebih luas, yang dilayani dengan lebih baik oleh kemakmuran yang
mengalir dari perdagangan bebas.
Smith tidak mengusung perdagangan bebas unilateral dan
tanpa syarat. Dia mengajukan empat kualifikasi bagi argumennya. Pertama,
perdagangan bebas bisa dibatasi oleh pertimbangan mendesak keamanan nasional.
Smith bersimpati dengan Undang-Undang Navigasi dalam hal ini: “regulasi
komersial Inggris paling bijaksana.” Kedua, bea harus dipungut atas
barang-barang impor setara dengan pajak domestik atas produk-produk nasional
guna menghindari penawaran yang terlalu menguntungkan bagi impor. Ketiga, bea
bisa diberlakukan sebagai tindakan balasan terhadap pembatasan tidak wajar di
pasar luar negeri tetapi hanya sebagai cara memaksa negara-negara lain untuk
membatalkan bea yang mereka terapkan. Akhrinya, perdagangan bebas harus
dilaksanakan secara bertahap sehingga industri dan tenaga kerja domestik
mempunyai waktu untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan terhadap kompetisi
internasional yang bertambah sengit. Oleh karena itulah Smith melunakkan
argumennya dengan pemahaman tentang praktik merkantilis yang berlaku dan
realitas politik domestik.
David Ricardo (1772-1823) bertumpu pada, meski kemudian
menjauhi, pandangan Smith. Ricardo juga memandang adanya
kepentingan-kepentingan politik di balik kebijakan-kebijakan ekonomi yang ada.
Bedanya, Smith menentang para pelaku bisnis merkantilis, sedangkan Ricardo
memandang tuan tanah lebih merusak bagi kemajuan ekonomi. Pertimbangannya
terkait erat dengan konsep sewa, upah, dan laba. Menerima pengertian Thomas
Malthus tentang sumber daya yang terbatas (satu dari sedikit hal yang
disepakati dua orang yang berteman ini), Ricardo memperkirakan meningkatnya
harga pangan yang akan menaikkan sewa untuk para tuan tanah. Harga pangan yang
lebih mahal juga menyebabkan naiknya upah, merongrong laba yang diperoleh
borjuasi yang sedang tumbuh. Keuntungan yang diraih tuan tanah adalah kerugian
bagi industrialis. Tanpa laba yang memadai para pelaku bisnis tidak dapat
menanam modal dan pembangunan perekonomian akan mengalami kesulitan. Pasar
dunia menawarkan cara mengatasi hambatan pertanian bagi pembangunan. Maka
Ricardo pun membuka bab-bab tentang perdagangan luar negeri dalam Principle of Political Economy and Taxation
dengan diskusi tentang hubungan dagang dengan laba dan upah domestik.
Perdagangan luar negeri menguntungkan secara nasional sejauh memberi sumbangan
untuk menurunkan upah, yang pada gilirannya memberi peluang bagi peningkatan
laba.
Bagaimanapun juga, untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya negara harus berkonsentrasi pada keunggulan komparatif. Contoh
terkenal Ricardo tentang tekstil Inggris dan anggur Portugis menjadi dorongan
kuat bagi spesialisasi ekonomi berdasarkan biaya komparatif dan pasar dunia
yang terbuka. Dia cukup cermat dalam membangun argumen ini berkenaan dengan
masalah ketimpangan pembayaran internasional. Dia mendapati bahwa
kekuatan-kekuatan moneter tidak mengancam keunggulan komparatif berkat
mekanisme arus uang logam yang mengoreksi diri sendiri (pendahulu teori
kuantitas uang). Jika ada cacat dalam argumen yang panjang umur ini, barangkali
itu adalah asumsi modal tidak bergerak dan tenaga kerja, kondisi-kondisi yang
berubah dalam era korporasi transnasional dan transportasi modern.
Bagi Ricardo, perekonomian internasional tidak sama
dengan perekonomian dalam negeri. Suatu perekonomian nasional dibatasi oleh
oleh keterbatasan sumber daya dan konflik kepentingan; perekonomian dunia
menawarkan jalan-jalan potensial pertumbuhan dan ekspansi. Dia tidak
memperhitungkan terjadinya penyusutan global, sebuah kemungkinan yang sangat
kecil pada masa hidupnya. Ringkasnya, meski berbeda dalam metodologi—teori
abstrak Ricardo sangat bertolak belakang dengan gaya naratif Smith—mereka
sepaham mengenai hasil-hasil positif perdagangan bebas.6
Demikianlah, tentu saja ini penafian (disclaimer), tulisan ini di-posting
dengan tujuan membantu siapa saja mendapatkan kutipan-kutipan berikut
sumbernya. Sehingga wajar jika tulisan ini tidak ketahuan ke mana arahnya dan
tidak tuntas. Ini memang bukan pekerjaan yang sudah selesai. Setiap paragraf yang
dilengkapi dengan catatan kaki bisa dipakai sebagai bahan tulisan dengan
rujukan sumber yang dicantumkan. Hal ini saya lakukan karena kesal sering
mengalami kesulitan mencari sumber rujukan dalam tulisan yang diunggah di
Internet. Yang sering terjadi ketika saya copy
paste beberapa kalimat dan menempelkannya ke kolom pencari Google, ketahuan
bahwa kalimat-kalimat yang tidak disebutkan sumbernya, dengan demikian tampak
seperti karya asli si pengunggah tulisan, tak lain adalah karya orang lain.
Lebih celaka lagi, asal kalimat-kalimat itu adalah tulisan di blog (blogspot
maupun wordpress) yang juga tidak mencantumkan sumbernya. Semoga bermanfaat. Salam.
Catatan:
1.
Chaim Potok, Wanderings: Chaim Potok’s
History of the Jews, Fawcett Crest, New York, 1980, hlm. 1,19.
2.
Charles Le Gai Eaton, Islam and the
Destiniy of Man, The Islamic Texts Society, Cambridge, United Kingdom, 2005,
hlm. 29,31.
3.
Michel Beaud, History of
Capitalism, Monthly Review Press, New
York, 2001, hlm. 13-15.
4.
Ibid.
5.
George T, Crane & Abla Amawi (ed),
The Theoretical Evolution of International Political Economy, Second Edition,
Oxford University Press, New York, 1997, hlm. 5.
6.
Michel Beaud, History of
Capitalism, Monthly Review Press, New
York, 2001, hlm. 17.
7.
Ibid., hlm. 41.
8.
Ibid., 42, 43.
9.
George T. Crane dan Abla Amawi (ed),
The Theoretical Evolution of International Political Economy, Oxfor University
Press, New York, 1997, hlm. 55-57.
No comments:
Post a Comment