Tak sampai sejam meninggalkan HarbourFront Centre Singapura kapal cepat Batam Fast
sudah berpapasan dengan perahu motor kecil-kecil berbendera merah putih.
Melewati sebuah kapal milik Basarnas Republik Indonesia yang sedang sandar, speedboat Batam Fast yang saya tumpangi mengurangi kecepatan untuk merapat di
Pelabuhan Sekupang.
Kapal Basarnas RI di Sekupang, Batam |
Setelah menyelesaikan urusan keimigrasian masuk ke negeri
sendiri, saya duduk termenung di emper Pelabuhan Sekupang yang bersih dan rapi.
Hanya bermodal nama Kasmiran dan SDN 07 Sekupang saya sengaja tidak langsung
pulang ke Yogyakarta demi
menyambangi teman lama yang tinggal di Sekupang, Batam. Jauh-jauh hari saya
sudah bertanya kepada beberapa teman di Tempurejo, Banyubiru, Widodaren, Ngawi
apakah mereka punya nomor hp Kasmiran, teman kami itu. Tak ada yang punya.
Teknologi telekomunikasi itu mendekatkan tampaknya memang hanya slogan. Yang
sering saya jumpai, terkait kemajuan teknologi komunikasi, adalah paradoks
modernitas: menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh, bahkan yang tidak
kenal. Masjid di kompleks pelabuhan mengumandangkan adzan. Saya penuhi panggilan muadzin.
Usai salat saya keluar parkiran pelabuhan dan menghampiri
beberapa tukang ojek yang mencari penumpang. Salah seorang di antara mereka bilang,
“Enam puluh ribu.” Saya bilang jangan segitulah. Menurut orang Batam yang mengobrol
dengan saya di HarbourFront Centre, dia naik feri tujuan Batam Center, jangan
mau kalau di atas Rp20.000. Akhirnya ada yang mengatakan tiga puluh ribu karena
harus nanya-nanya dulu di mana SDN 07 Sekupang itu. Lah, ajaib juga, masa ya
nggak tahu? Dan memang dia tidak tahu. Perlu bertanya tiga empat kali dulu sebelum
dia menurunkan saya di depan gedung sekolah sambil mengatakan, “Ini SDN 07
Sekupang, Bang.”
Karena gelap, papan nama sekolah tak tampak, setelah
cukup dekat barulah terbaca tulisan SD Kasih Karunia. Dan tukang ojek itu sudah
ditelan malam. Di depan sekolah itu tampak sebuah rumah dengan pintu terbuka,
saya permisi mau tanya kepada penghuninya. Kepada seorang bapak yang keluar
saya tanya di mana SDN 07 Sekupang. Katanya, “Di belakang SD Kasih Karunia itu
SDN 06 Sekupang, sedangkan SDN 07 jauh di Tiban Indah sana, sini Tiban Koperasi.”
Saya minta izin kepada bapak itu untuk beristirahat sebentar. Bapak itu
mempersilakan saya duduk di teras dan dia masuk rumah, keluar membawa sebotol
air dingin. Alhamdulillah. Kami sedang berbincang-bincang ketika bapak itu
berbicara dalam bahasa Jawa kepada anaknya yang baru masuk teras rumah. Dan
kami melanjutkan pembicaraan dalam bahasa Jawa. Namanya Pak Samudi, asli
Cirebon. Dia tukang ojek.
Ketika hendak berlalu setelah mengembalikan sebagian uang
karena tidak mau menerima semua ongkos dari saya, Pak Samudi berkata bahwa jika
tidak bertemu teman saya sebaiknya saya minta izin saja untuk tidur di
musala SDN 07 Sekupang. Pak Samudi benar, ternyata teman saya sudah lama tidak mengajar
di sekolah dasar itu. Ya mungkin saja daftar dalam format pdf Kementerian Agama
yang saya simpan dari internet itu data tahun entah. Haha.
Kepada jama’ah salat Isya yang terakhir keluar musala
saya tanyakan tentang teman saya itu. Siapa tahu dia kenal. Dan dia memang kenal.
Pak Haji Sora lalu menyuruh putranya mengantar saya ke Masjid Muhajirin di Perumahan
Tiban Indah Lestari. Singkat kata, dengan modal nama dan SD dari hasil
googling, saya bertemu teman yang sudah puluhan tahun tidak saya jumpai. Saya
berencana tinggal di rumahnya hingga kapal tujuan Jakarta berangkat.
Perahu motor di Barelang yang agak berkabut asap |
Soal kapal ini komentar Pak Smith sungguh benar, jadwal di internet hanya ada per bulan
keberangkatan. Ada juga blog yang kopas jadwal bulan sebelumnya. Menyedihkan sebagai
bangsa yang membanggakan diri sebagai anak cucu pelaut. Dari Pak Hari, warga
Sekupang sahabat teman saya, barulah saya tahu bahwa kapal tujuan Jakarta berangkat
tiap hari Rabu dan Sabtu dari Batam.
Sewaktu mengambil uang di ATM BCA Tiban Indah Lestari untuk
membeli tiket kapal, ATM saya tertelan mesin. Sama sekali di luar dugaan.
Prosedurnya sudah benar. Tetapi ketika menunggu uang keluar dari mesin, waktu yang
dibutuhkan cukup lama hingga di layar muncul tulisan: “Waktu sudah habis,
transaksi Anda dibatalkan, kartu ATM Anda ditahan” (kurang lebih begitu, saya
lupa kalimat persisnya). Lemas betul saya, mana uang tunai tinggal
Rp150.000-an. Untunglah akun twitter @halobca responsif, saya cukup terbantu dengan
pelayanan customer service. Hanya
saja kartu ATM baru bisa diproses hari Senin, kartu saya tertelan hari
Sabtu. Ya sudah, apa lagi yang bisa dilakukan selain menunggu?
Celakanya, malamnya ada telepon bahwa hari Minggu malam
saya sudah harus di Yogyakarta karena suatu pekerjaan. Dengan uang segitu,
belum lagi harus bayar laundry yang selesai
besok, bagaimana cara sampai ke Yogyakarta pada waktunya? Akhirnya saya
menelepon teman saya pemilik Biro Perjalanan PT Mitra Persada Travelindo. Saya
minta ditalangi dulu tiket Batam – Yogyakarta untuk hari Minggu, nanti saya ganti sesudah urusan ATM kelar. Tiket pesawat beres dalam sekejap.
Mata uang yang berlaku di mana-mana: kejujuran |
Hari Minggu usai salat dzuhur saya mengambil cucian di binatu. Selesai seperti yang dijanjikan plus mendapat kegembiraan menemukan orang
jujur di zaman serba susah ini. Di saku celana panjang saya ternyata masih ada
uang 11 USD. Tulisan ini saya buat sebagai penghargaan kepada pekerja binatu di
sebelah timur Masjid Al Muhajirin Tiban Indah Permai yang jujur itu dan petugas
CS BCA yang penuh dedikasi. Sebab, pengalaman saya di Batam ini secara umum tak
layak tulis sebetulnya haha. Cuma kunjungan kepada seorang teman yang sudah puluhan
tahun tidak bertemu. Meski tak sepenuhnya tanpa makna. Perjumpaan sekilas dengan seorang bapak tua energik dari Pantai Kampung Melayu yang singgah salat di masjid ujung Jembatan Barelang menyadarkan saya akan satu hal: rupanya kita sudah jarang mengucap salam dan menanyakan kabar sesama pejalan yang tidak kita kenal.
Dan rencana perjalanan dengan kapal itu gagal.
Jl Mangkubumi, Tugu, Jl. AM Sangaji, Monjali. Pulang :D |
No comments:
Post a Comment