Penafian (diclaimer): tulisan ini hanya
mengungkapkan pengalaman saya, bukan sebuah penelitian sistematis yang mematuhi
kaidah-kaidah ilmiah. Meski mungkin yang dialami orang lain berbeda dari
pengalaman saya, semuanya sungguh-sungguh terjadi. Sebenarnya fenomena “ajaib”
penggunaan bahasa Jawa oleh orang-orang Jawa di pusat Tanah Jawa dan sekitarnya
ini sudah lama ingin saya tulis, tetapi pemicunya baru muncul beberapa bulan
lalu ketika hendak membelikan anak saya minyak wangi di samping pintu Bank
Muamalat Masjid Kampus UGM dengan dialog yang berlangsung berikut:
“Niki pintên, Pak?” (Ini berapa, Pak?)
tanya saya kepada penjualnya.
“Kalih dasa.” (Dua puluh)
“Sing alit-alit tigang èwu gangsal atus
mboten èntên, nggih?” (Yang kecil-kecil tiga ribu lima ratusan itu tidak
ada, ya?)
“Pun mbotên èntên.”
“Nggih pun sing niki mawon,” kata saya
sambil menunjuk botol-botol minyak wangi lainnya.
“Nèk sing kuwi sepuluh èwu, Mas.”
Saya ulangi lagi
pernyataan saya dan penjual itu tetap berbahasa Jawa ngoko, kali ini lebih
panjang.
“Wis, Le, ra sah tuku wae, Bapak wis nganggo
basa krama malah disauri basa ngoko. Kaya ra ngerti tata krama wae,” kata
saya kepada anak-anak saya dengan suara keras agar didengar si penjual. Saya
berlalu bersama anak-anak saya.
Dalam perjalanan
pulang di benak saya bermunculan adegan-adegan “lucu” penggunaan
tingkatan-tingkatan bahasa Jawa ini di kalangan orang Jawa sendiri. “Sêdaya pintên, Mbak?” tanya saya kepada
kasir mini market. Dijawabnya, “Dua puluh lima ribu.” Saya bisa maklum, mungkin
di Alfamart dan Indomaret ada ketentuan untuk berbahasa Indonesia ketika
melayani konsumen. Meski di depan saya sesama mereka bercakap-cakap dalam
bahasa Jawa. Di warung langganan dekat rumah, saya bertanya kepada mbak
keponakan pemilik warung, “Mbak kagungan
gêndhis?” Dia jawab pertanyaan saya dengan pertanyaan, “Gêndhis niku napa nggih?”
“Gêndhis niku gula, Mbak.”
Setiap kali mbak
keponakan itu yang menunggu warung, saya sering mendengar hal-hal lucu, antara
lain “Kalih ribu”, mungkin dia tidak
tahu bahwa bahasa halusnya dua ribu adalah kalih
ewu. Haha. Saya tinggal di Sleman, yang tentu saja merupakan bagian dari
salah satu pusat budaya Jawa, Yogyakarta.
Buku-buku yang saya pakai saat SD |
Di sebuah desa di
lereng Merapi, masih di wilayah Kabupaten Sleman, dahulu sekali, saya pernah
mengantar teman saya menemui seorang “pintar” untuk mengupayakan agar pacarnya
kembali kepadanya. Manjur tidaknya upaya teman saya itu bukan merupakan hal yang
menarik perhatian saya. Yang sangat mengesankan bagi saya adalah keseleo lidah
bapak “kyai” itu. Begini: “Sêdaya mênika
sampun ginaris, kita kantun nglakèni kémawon” (Semuanya sudah digariskan,
kita tinggal menjalani saja). Saya menahan diri sekuat mungkin agar tidak tertawa,
nglakèni itu kata kasar untuk menyetubuhi.
Mungkin si bapak mengubah kata nglakoni
(menjalani) begitu saja menjadi nglakèni,
mengikui pola ngakoni (mengakui) menjadi
ngakèni. Saya sangat yakin bapak itu,
sebagai orang yang mengamalkan paham sinkretisme Islam dan Kejawen, tahu bahwa kata
halus untuk nglakoni adalah nglampahi.
Hal-hal dasar
sederhana dalam etika berbahasa Jawa ini memang semakin banyak yang tidak tahu.
Anjurannya, kita harus merendah ketika berbicara dengan orang lain. Waktu itu
tahun 2001, bersama teman yang kini merupakan intelektual cukup terpandang saya
menghadiri FGD untuk suatu penelitian terkait pemerintahan desa dan
demokratisasi atau hal-hal semacam itulah. Sebelum acara resmi dimulai, kami
mengobrol santai dengan para peserta dalam bahasa Jawa. Menanggapi pernyataan
salah seorang warga (sebuah desa di Purworejo), teman saya berkata, “Kula ting ndalêm nggih kagungan.” Aduh!
Mestinya dia bilang, “Ting griya kula
nggih gadhah.”
Beberapa tahun
sesudah itu dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta dari Desa Galiran, Sukolilo,
Pati, saya singgah di warung membeli minuman kemasan sekaligus menanyakan arah.
Ketika hendak pergi setelah berterima kasih, pemilik toko itu berkata, “Niki mbotên njênêngan ombé?” Saya bisa maklum jika bapak itu
tidak ingat kosakata unjuk (minum
versi Jawa halus) karena saya berada di pesisir utara, yang menurut legenda adalah
anak turun Arya Penangsang, musuh bebuyutan para raja Mataram.
Dua tahun silam di
Stasiun Gambir saya terpana mendengar perbincangan timpang, yang satu berbahasa
Jawa krama satunya lagi berbahasa Jawa ngoko dialek Surabaya. Setahu saya,
orang Surabaya sekalipun tetap bisa berbahasa Jawa krama. Ini bukan soal siapa
lebih tinggi dari siapa. Untuk orang yang belum kenal lazimnya sama-sama
menggunakan basa krama. Dalam posisi orang berbahasa Jawa krama itu, saya akan
berganti menggunakan bahasa Indonesia atau menyudahi perbincangan.
Mengenai sesama
orang Jawa yang berbahasa Indonesia ini saya punya banyak pengalaman semasa
kuliah. Biasanya terjadi dengan teman-teman yang baru kenal. Saya nekat
berbahasa Jawa, sebab saya yakin dia bisa bahasa Jawa. Ketika sudah akrab
dengan beberapa dari mereka, kami menggunakan bahasa Jawa. Biasanya teman-teman
saya itu tidak bisa menyembunyikan logat Banyumasan mereka. Perkara begini
lumayan sensitif agaknya.
Perkara sensitif
lainnya adalah “permusuhan” antara santri dan abangan (meminjam terminologi
Clifford Geertz untuk membedakan orang Islam Jawa yang mengamalkan agamanya dan
orang Islam Jawa yang beragama secara nominal saja). Lazimnya orang Islam yang menjalankan
ajaran agamanya (khususnya yang berasal dari kalangan Muhammadiyah) dianggap tidak
nJawani (tidak Jawa, yang bermakna tidak mengerti dan tidak menjalankan
perilaku selayaknya orang Jawa). Walaupun dalam kenyataannya tidak demikian,
dan pengkategorian Geertz juga tak sepenuhnya tepat sejauh yang saya temui
sendiri.
Salah seorang keponakan
saya tertib menjalankan salat lima waktu dan rajin berpuasa Senin Kamis,
tentunya dia santri, menurut penggolongan santri-abangan. Tetapi di Facebook
dia getol menyebarkan (share) opini-opini
yang mempromosikan budaya dan keyakinan Jawa yang dipertentangkan dengan ajaran
Islam (yang dianggap tidak nJawani itu). Dia juga sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan
yang menggugat Islam vis-à-vis budaya Jawa, suatu kali pernah menanyakan kepada
saya apakah agama juga diajarakan seperti halnya rasisme. Keluarga kami
rata-rata penganut Islam taat, tetapi selalu ada perkecualian memang. Dan tak
jadi soal bagi saya. Yang lucu, keponakan saya yang sudah menikah itu tidak terima
dipanggil “Dik” oleh kakak sepupunya yang masih TK. Sebagai penganjur
pengamalan budaya Jawa, mestinya dia senang-senang saja dipanggil “Dik” oleh
anak kecil yang secara silsilah memang kakaknya. Si anak TK itu putra kakak
ibunya. Kebiasaan menggunakan sapaan sesuai pêrnah
(kedudukan menurut garis keturunan) ini juga sudah banyak ditinggalkan rupanya.
Adik saya memanggil anak kakak sepupu saya “Mbak Nurul”. Ini ajaib, padahal anak
kakak sepupu saya itu memanggil saya “Pak Nanang” karena pêrnah-nya saya memang pamannya. Keponakan saya promotor “budaya
Jawa” tadi tidak menggunakan basa Jawa krama kepada bapak ibunya. Adik saya, yang
bersuamikan lelaki “abangan”, menggunakan basa Jawa krama secara minimalis. Begitulah.
Bagi saya, tak ada
masalah menjalankan dan melestarikan budaya Jawa, yang saya tidak mau adalah menjalankan
ritual berbau keagamaan yang tidak ada ketentuannya dalam Islam. Kembali ke
soal bahasa Jawa krama, ceramah terbaik dan paling mengesankan dalam bahasa Jawa
halus yang pernah saya simak adalah khotbah Jum’at yang disampaikan seorang bapak
sepuh pengurus Muhammadiyah di sebuah masjid di Petir, Piyungan.
Saya masih belum
bersemangat merampungkan tulisan ini hingga suatu pagi, belum lama berselang,
ketika membeli nasi kuning penjualnya bertanya:
“Wangsul ngêtêraken sekolah, Pak?”
(Pulang dari mengantar sekolah, Pak? Wangsul
tidak tepat dalam kalimat ini, mestinya kondur).
“Nggih,” jawab saya.
“Sing ditêrké jalêr napa èstri?” (Yang diantar
laki-laki atau perempuan? Mestinya Ingkang
dipun têrakên kakung napa putri).
“Jalêr,” jawab saya (agar tambah kacau
mestinya saya jawab kakung haha).
“Griyane pundi?” (Tinggal di mana?
Mestinya “Dalêmipun pundi?)
Berkat mas penjual
nasi kuning itu pertahanan saya bertahun-tahun membenci sesama orang Jawa yang menggunakan
bahasa Indonesia jebol. Akhirnya saya bisa menerima sesama orang Jawa yang menggunakan
bahasa Indonesia dalam perbincangan sehari-hari. Sesuatu yang jauh lebih baik daripada
kacau-balau dalam berbahasa Jawa.
Bahasa Indonesia,
saya rasa, punya fungsi menjaga jarak. Semasa kuliah dulu saya selalu berbahasa
Indonesia kepada polisi, sekalipun saya tahu betul yang bersangkutan bisa
berbahasa Jawa. Seiring usia bertambah, saya selalu berbahasa Jawa krama dengan
polisi. Haha. Kalau mereka berbahasa ngoko, baru saya akan pindah menggunakan
bahasa Indonesia. Tetapi itu tak pernah terjadi.
Meski menjadi minoritas
di kalangan anak-anak yang berbahasa Indonesia sejak kecil, saya biasakan
anak-anak saya menggunakan bahasa Jawa krama kepada yang lebih tua. Dituding tidak
demokratis ya biar. Lagi pula saya tak terlalu paham soal demokrasi selain bahwa
demokrasi adalah moderasi kekerasan sebagaimana tercermin dalam ungkapan Abraham
Lincoln “The ballot is stronger than the bullet.”
Berbahasa Jawa menggunakan gradasi yang dianggap tidak egaliter itu tak ada hubungannya
dengan demokrasi menurut saya, itu soal sopan santun saja. Dan untuk apa saya
bersikap egaliter, misalnya, dengan paman saya? Di samping itu, saya percaya bahwa
bahasa Jawa krama memang dirancang tidak cocok untuk meluapkan marah. Jika
marah, istri saya menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada saya. Sehari-hari dia
berbahasa Jawa krama kepada saya. Katanya, itulah bentuk penghormatannya kepada
saya.
Ada teman yang mengritik
saya dengan menyatakan bahwa anak sebaiknya dibiasakan berbahasa Indonesia karena
itulah bahasa yang sehari-hari mereka pakai di sekolah. Saya bingung dengan argumen
ini, justru karena dipakai di sekolah itu, buat apa diajari di rumah?
Pengalaman saya sendiri, hingga kelas 3 SD, guru saya masih banyak menyelipkan bahasa
Jawa sebagai bahasa pengantar, misalnya, “Cah,
saiki pelajaran bahasa Indonesia, bukuné ditokké” (Anak-anak, sekarang [jam]
pelajaran Bahasa Indonesia, keluarkan buku kalian). Dan soal kemampuan berbahasa Indonesia, saya berani diadu dengan teman saya yang gigih
memperjuangkan penggunaan bahasa Indonesia untuk anaknya itu :D
Plumbon, 24
Desember 2015
Sumber gambar: http://paksrimo.blogspot.co.id/2010_12_01_archive.html
No comments:
Post a Comment