Pages

Thursday, December 24, 2015

Baud Basa Jawi



Penafian (diclaimer): tulisan ini hanya mengungkapkan pengalaman saya, bukan sebuah penelitian sistematis yang mematuhi kaidah-kaidah ilmiah. Meski mungkin yang dialami orang lain berbeda dari pengalaman saya, semuanya sungguh-sungguh terjadi. Sebenarnya fenomena “ajaib” penggunaan bahasa Jawa oleh orang-orang Jawa di pusat Tanah Jawa dan sekitarnya ini sudah lama ingin saya tulis, tetapi pemicunya baru muncul beberapa bulan lalu ketika hendak membelikan anak saya minyak wangi di samping pintu Bank Muamalat Masjid Kampus UGM dengan dialog yang berlangsung berikut:
Niki pintên, Pak?” (Ini berapa, Pak?) tanya saya kepada penjualnya.
Kalih dasa.” (Dua puluh)
Sing alit-alit tigang èwu gangsal atus mboten èntên, nggih?” (Yang kecil-kecil tiga ribu lima ratusan itu tidak ada, ya?)
Pun mbotên èntên.”
Nggih pun sing niki mawon,” kata saya sambil menunjuk botol-botol minyak wangi lainnya.
Nèk sing kuwi sepuluh èwu, Mas.”
Saya ulangi lagi pernyataan saya dan penjual itu tetap berbahasa Jawa ngoko, kali ini lebih panjang.
Wis, Le, ra sah tuku wae, Bapak wis nganggo basa krama malah disauri basa ngoko. Kaya ra ngerti tata krama wae,” kata saya kepada anak-anak saya dengan suara keras agar didengar si penjual. Saya berlalu bersama anak-anak saya.
Dalam perjalanan pulang di benak saya bermunculan adegan-adegan “lucu” penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Jawa ini di kalangan orang Jawa sendiri. “Sêdaya pintên, Mbak?” tanya saya kepada kasir mini market. Dijawabnya, “Dua puluh lima ribu.” Saya bisa maklum, mungkin di Alfamart dan Indomaret ada ketentuan untuk berbahasa Indonesia ketika melayani konsumen. Meski di depan saya sesama mereka bercakap-cakap dalam bahasa Jawa. Di warung langganan dekat rumah, saya bertanya kepada mbak keponakan pemilik warung, “Mbak kagungan gêndhis?” Dia jawab pertanyaan saya dengan pertanyaan, “Gêndhis niku napa nggih?”
Gêndhis niku gula, Mbak.”
Setiap kali mbak keponakan itu yang menunggu warung, saya sering mendengar hal-hal lucu, antara lain “Kalih ribu”, mungkin dia tidak tahu bahwa bahasa halusnya dua ribu adalah kalih ewu. Haha. Saya tinggal di Sleman, yang tentu saja merupakan bagian dari salah satu pusat budaya Jawa, Yogyakarta. 
tentang penggunaan bahasa Jawa krama saat ini
Buku-buku yang saya pakai saat SD

Di sebuah desa di lereng Merapi, masih di wilayah Kabupaten Sleman, dahulu sekali, saya pernah mengantar teman saya menemui seorang “pintar” untuk mengupayakan agar pacarnya kembali kepadanya. Manjur tidaknya upaya teman saya itu bukan merupakan hal yang menarik perhatian saya. Yang sangat mengesankan bagi saya adalah keseleo lidah bapak “kyai” itu. Begini: “Sêdaya mênika sampun ginaris, kita kantun nglakèni kémawon” (Semuanya sudah digariskan, kita tinggal menjalani saja). Saya menahan diri sekuat mungkin agar tidak tertawa, nglakèni itu kata kasar untuk menyetubuhi. Mungkin si bapak mengubah kata nglakoni (menjalani) begitu saja menjadi nglakèni, mengikui pola ngakoni (mengakui) menjadi ngakèni. Saya sangat yakin bapak itu, sebagai orang yang mengamalkan paham sinkretisme Islam dan Kejawen, tahu bahwa kata halus untuk nglakoni adalah nglampahi.
Hal-hal dasar sederhana dalam etika berbahasa Jawa ini memang semakin banyak yang tidak tahu. Anjurannya, kita harus merendah ketika berbicara dengan orang lain. Waktu itu tahun 2001, bersama teman yang kini merupakan intelektual cukup terpandang saya menghadiri FGD untuk suatu penelitian terkait pemerintahan desa dan demokratisasi atau hal-hal semacam itulah. Sebelum acara resmi dimulai, kami mengobrol santai dengan para peserta dalam bahasa Jawa. Menanggapi pernyataan salah seorang warga (sebuah desa di Purworejo), teman saya berkata, “Kula ting ndalêm nggih kagungan.” Aduh! Mestinya dia bilang, “Ting griya kula nggih gadhah.”
Beberapa tahun sesudah itu dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta dari Desa Galiran, Sukolilo, Pati, saya singgah di warung membeli minuman kemasan sekaligus menanyakan arah. Ketika hendak pergi setelah berterima kasih, pemilik toko itu berkata, “Niki mbotên njênêngan ombé?” Saya bisa maklum jika bapak itu tidak ingat kosakata unjuk (minum versi Jawa halus) karena saya berada di pesisir utara, yang menurut legenda adalah anak turun Arya Penangsang, musuh bebuyutan para raja Mataram.
Dua tahun silam di Stasiun Gambir saya terpana mendengar perbincangan timpang, yang satu berbahasa Jawa krama satunya lagi berbahasa Jawa ngoko dialek Surabaya. Setahu saya, orang Surabaya sekalipun tetap bisa berbahasa Jawa krama. Ini bukan soal siapa lebih tinggi dari siapa. Untuk orang yang belum kenal lazimnya sama-sama menggunakan basa krama. Dalam posisi orang berbahasa Jawa krama itu, saya akan berganti menggunakan bahasa Indonesia atau menyudahi perbincangan.
Mengenai sesama orang Jawa yang berbahasa Indonesia ini saya punya banyak pengalaman semasa kuliah. Biasanya terjadi dengan teman-teman yang baru kenal. Saya nekat berbahasa Jawa, sebab saya yakin dia bisa bahasa Jawa. Ketika sudah akrab dengan beberapa dari mereka, kami menggunakan bahasa Jawa. Biasanya teman-teman saya itu tidak bisa menyembunyikan logat Banyumasan mereka. Perkara begini lumayan sensitif agaknya.
Perkara sensitif lainnya adalah “permusuhan” antara santri dan abangan (meminjam terminologi Clifford Geertz untuk membedakan orang Islam Jawa yang mengamalkan agamanya dan orang Islam Jawa yang beragama secara nominal saja). Lazimnya orang Islam yang menjalankan ajaran agamanya (khususnya yang berasal dari kalangan Muhammadiyah) dianggap tidak nJawani (tidak Jawa, yang bermakna tidak mengerti dan tidak menjalankan perilaku selayaknya orang Jawa). Walaupun dalam kenyataannya tidak demikian, dan pengkategorian Geertz juga tak sepenuhnya tepat sejauh yang saya temui sendiri.
Salah seorang keponakan saya tertib menjalankan salat lima waktu dan rajin berpuasa Senin Kamis, tentunya dia santri, menurut penggolongan santri-abangan. Tetapi di Facebook dia getol menyebarkan (share) opini-opini yang mempromosikan budaya dan keyakinan Jawa yang dipertentangkan dengan ajaran Islam (yang dianggap tidak nJawani itu). Dia juga sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menggugat Islam vis-à-vis budaya Jawa, suatu kali pernah menanyakan kepada saya apakah agama juga diajarakan seperti halnya rasisme. Keluarga kami rata-rata penganut Islam taat, tetapi selalu ada perkecualian memang. Dan tak jadi soal bagi saya. Yang lucu, keponakan saya yang sudah menikah itu tidak terima dipanggil “Dik” oleh kakak sepupunya yang masih TK. Sebagai penganjur pengamalan budaya Jawa, mestinya dia senang-senang saja dipanggil “Dik” oleh anak kecil yang secara silsilah memang kakaknya. Si anak TK itu putra kakak ibunya. Kebiasaan menggunakan sapaan sesuai pêrnah (kedudukan menurut garis keturunan) ini juga sudah banyak ditinggalkan rupanya. Adik saya memanggil anak kakak sepupu saya “Mbak Nurul”. Ini ajaib, padahal anak kakak sepupu saya itu memanggil saya “Pak Nanang” karena pêrnah-nya saya memang pamannya. Keponakan saya promotor “budaya Jawa” tadi tidak menggunakan basa Jawa krama kepada bapak ibunya. Adik saya, yang bersuamikan lelaki “abangan”, menggunakan basa Jawa krama secara minimalis. Begitulah.
Bagi saya, tak ada masalah menjalankan dan melestarikan budaya Jawa, yang saya tidak mau adalah menjalankan ritual berbau keagamaan yang tidak ada ketentuannya dalam Islam. Kembali ke soal bahasa Jawa krama, ceramah terbaik dan paling mengesankan dalam bahasa Jawa halus yang pernah saya simak adalah khotbah Jum’at yang disampaikan seorang bapak sepuh pengurus Muhammadiyah di sebuah masjid di Petir, Piyungan.
Saya masih belum bersemangat merampungkan tulisan ini hingga suatu pagi, belum lama berselang, ketika membeli nasi kuning penjualnya bertanya:
Wangsul ngêtêraken sekolah, Pak?” (Pulang dari mengantar sekolah, Pak? Wangsul tidak tepat dalam kalimat ini, mestinya kondur).
Nggih,” jawab saya.
Sing ditêrké jalêr napa èstri?” (Yang diantar laki-laki atau perempuan? Mestinya Ingkang dipun têrakên kakung napa putri).
Jalêr,” jawab saya (agar tambah kacau mestinya saya jawab kakung haha).
Griyane pundi?” (Tinggal di mana? Mestinya “Dalêmipun pundi?)
Berkat mas penjual nasi kuning itu pertahanan saya bertahun-tahun membenci sesama orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia jebol. Akhirnya saya bisa menerima sesama orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia dalam perbincangan sehari-hari. Sesuatu yang jauh lebih baik daripada kacau-balau dalam berbahasa Jawa.
Bahasa Indonesia, saya rasa, punya fungsi menjaga jarak. Semasa kuliah dulu saya selalu berbahasa Indonesia kepada polisi, sekalipun saya tahu betul yang bersangkutan bisa berbahasa Jawa. Seiring usia bertambah, saya selalu berbahasa Jawa krama dengan polisi. Haha. Kalau mereka berbahasa ngoko, baru saya akan pindah menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi itu tak pernah terjadi.
Meski menjadi minoritas di kalangan anak-anak yang berbahasa Indonesia sejak kecil, saya biasakan anak-anak saya menggunakan bahasa Jawa krama kepada yang lebih tua. Dituding tidak demokratis ya biar. Lagi pula saya tak terlalu paham soal demokrasi selain bahwa demokrasi adalah moderasi kekerasan sebagaimana tercermin dalam ungkapan Abraham Lincoln “The ballot is stronger than the bullet.” Berbahasa Jawa menggunakan gradasi yang dianggap tidak egaliter itu tak ada hubungannya dengan demokrasi menurut saya, itu soal sopan santun saja. Dan untuk apa saya bersikap egaliter, misalnya, dengan paman saya? Di samping itu, saya percaya bahwa bahasa Jawa krama memang dirancang tidak cocok untuk meluapkan marah. Jika marah, istri saya menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada saya. Sehari-hari dia berbahasa Jawa krama kepada saya. Katanya, itulah bentuk penghormatannya kepada saya.
Ada teman yang mengritik saya dengan menyatakan bahwa anak sebaiknya dibiasakan berbahasa Indonesia karena itulah bahasa yang sehari-hari mereka pakai di sekolah. Saya bingung dengan argumen ini, justru karena dipakai di sekolah itu, buat apa diajari di rumah? Pengalaman saya sendiri, hingga kelas 3 SD, guru saya masih banyak menyelipkan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, misalnya, “Cah, saiki pelajaran bahasa Indonesia, bukuné ditokké” (Anak-anak, sekarang [jam] pelajaran Bahasa Indonesia, keluarkan buku kalian). Dan soal kemampuan berbahasa Indonesia, saya berani diadu dengan teman saya yang gigih memperjuangkan penggunaan bahasa Indonesia untuk anaknya itu :D

Plumbon, 24 Desember 2015


No comments:

Post a Comment