Kualitas Pelayanan dan Harga
Saat ini pasar
semakin kompetitif dalam semua aspek kelangsungan hidup perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa paham betul bahwa untuk
menguasai pasar mereka harus mengeksplorasi cara-cara baru untuk mendekati
konsumen. Oleh karena itu, penting sekali bagi sebuah perusahaan untuk
mempertahankan loyalitas konsumen (Nadia Hanum Amiruddin, 2013: 34).
Gagasan tentang
kualitas pelayanan yang dikembangkan Leonard L. Barry, A. Parasuraman dan
Zeithaml dikenal dengan service quality
(SERVQUAL) didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu reliability (keandalan), responsiveness
(daya tanggap), assurance (jaminan), empathy (empati), dan tangibles (bukti langsung) (F. Tjiptono
dan G. Chandra, 2011: 180). Namun, sebagaimana disimpulkan dalam penelitian
yang dilakukan Nadia Hanum Amiruddin, dalam kasus AirAsia, terungkap bahwa
antara kualitas pelayanan dan harga, harga merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap loyalitas konsumen. Bisa disimpulkan bahwa jika AirAsia
tetap menawarkan tiket penerbangan murah bagi konsumen, kemungkinan untuk
meningkatkan loyalitas konsumen akan tetap tinggi. Kendati demikian, bukan
berarti kualitas pelayanan tidak penting, tetapi harga memberi pengaruh agak
tinggi bagi pemeliharaan loyalitas pelanggan (Nadia Hanum Amiruddin, 2013: 34)
Betapapun bagusnya
kualitas pelayanan yang diberikan suatu perusahaan, semua perusahaan pasti
pernah melakukan kesalahan dalam aktivitasnya memenuhi harapan konsumen masa
kini, yang cenderung lebih banyak menuntut dan kurang loyal dibanding yang
sudah-sudah. Bitner (1993) berpendapat bahwa karena uniknya sifat pelayanan,
mustahil memastikan adanya pelayanan yang 100 persen terbebas dari kesalahan.
Bahkan organisasi paling berorientasi konsumen dengan program kualitas paling
maju sekalipun tetap tidak mampu menyingkirkan kegagalan pelayanan (del
Río-Lanza et al, 2009). Karena itulah kegagalan memberikan pelayanan merupakan
sebuah tantangan signifikan bagi semua organisasi penyedia jasa. Berbagai
temuan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan produk dan jasa bisa
mendatangkan banyak konsekuensi tak diinginkan bagi organisasi. Di antara
konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan itu adalah kemarahan konsumen
(Folkes, 1984; Folkes et al., 1987), ketidakpuasan (Bitner et al., 1990;
Bitner, 1990; Hess et al., 2003; Tsiros et al., 2004), niatan-niatan untuk
mengeluh (Folkes, 1984; Folkes et al., 1987), hasrat untuk mengganggu bisnis
suatu perusahaan (Folkes, 1984), dan meninggalkan/beralih (Keaveney, 1995)
(Nadia Hanum Amiruddin, 2013: 34)
Manajer pemasaran
harus mengasumsikan bahwa pada beberapa waktu tertentu, beberapa jenis krisis
merek akan terjadi. Berbagai merek seperti ban Firestone, minyak Exxon, dan
Martha Stewart semua pernah mengalami krisis merek yang berpotensi melumpuhkan.
Hal ini akan sangat merusak jika ada konsekuensi luas pada: (1) hilangnya
penjualan produk, (2) penurunan efektivitas kegiatan pemasaran produk, (3)
peningkatan sensitivitas pada kegiatan pemasaran perusahaan pesaing, dan (4)
penurunan efektivitas kegiatan pemasarannya terhadap penjualan merek pesaing
yang tidak terpengaruh (Kotler dan Keller, 2009: 231.)
Secara umum,
semakin kuat ekuitas merek dan citra korporat yang sudah tertanam—terutama
kredibilitas dan tingkat kepercayaan korporat—semakin besar kemungkinan
perusahaan itu dapat menghadapi masalah. Meskipun demikian, persiapan yang
cermat dan program manajemen krisis yang dikelola dengan baik juga penting.
Seperti penanganan Johnson & Johnson yang hampir sempurna terhadap insiden
yang menimpa produk Tylenol, kunci untuk mengelola krisis adalah bahwa konsumen
melihat tindakan perusahaan sebagai respons yang cepat dan jujur.
Pelanggan harus segera merasakan bahwa perusahaan benar-benar peduli.
Mendengarkan saja tidaklah cukup (Kotler dan Keller, 2009: 231).
Semakin lama
perusahaan merespons kriris, semakin besar kemungkinan konsumen membentuk kesan
negatif dari liputan media atau berita dari mulut ke mulut yang merugikan.
Mungkin lebih buruk lagi, konsumen menemukan bahwa mereka tidak benar-benar
menyukai merek sama sekali dan beralih dari merek atau produk untuk selamanya.
Menangani masalah dengan humas, dan mungkin dengan iklan, dapat menghindari
masalah ini (Kotler dan Keller, 2009: 231)
Semakin jujur
respons perusahaan—pengakuan publik tentang dampak produk terhadap konsumen dan
kemauan untuk mengambil langkah apa pun yang diperlukan untuk menyelesaikan
krisis—semakin kecil kemungkinan konsumen akan membentuk atribusi negatif
(Kotler, 2009: 231).
Perusahaan tidak
hanya harus berhubungan secara konstruktif dengan pelanggan, pemasok, dan
penyalur, tetapi juga harus berhubungan dengan sejumlah besar masyarakat yang
berminat. Masyarakat (public) adalah
semua kelompok yang memiliki minat aktual atau potensial atau mempengaruhi
kemampuan perusahaan untuk untuk mencapai tujuannya. Hubungan masyarakat (public relations—PR) meliputi berbagai
program untuk mempromosikan atau melindungi citra atau produk individual
perusahaan (Kotler, 2009: 229).
Perusahaan yang
bijaksana mengambil langkah konkret untuk mengelola hubungan yang berhasil
dengan masyarakat kuncinya. Sebagian besar perusahaan mempunyai departemen
hubungan masyarakat yang mengamati sikap masyarakat di dalam organisasi serta
mendistribusikan informasi dan komunikasi untuk membangun itikad baik (goodwill). Departemen humas terbaik
membimbing manajemen puncak untuk menerapkan program yang positif dan
menghilangkan praktek yang patut dipertanyakan sehingga publisitas negatif
tidak timbul. Mereka melaksanakan lima fungsi berikut:
1.
Hubungan pers—Mempresentasikan
berita dan informasi tentang organisasi dalam pandangan yang paling positif.
2.
Publisitas produk—Mensponsori usaha
untuk mempublikasikan produk tertentu.
3.
Komunikasi korporat—Mempromosikan
pemahaman organisasi melalui komunikasi internal dan eksternal.
4.
Melobi—Bernegosiasi
dengan pembuat peraturan dan pejabat pemerintah untuk mengajukan atau
melonggarkan undang-undang dan peraturan.
5.
Konseling—Memberikan saran
kepada manajemen tentang masalah publik, dan posisi perusahaan serta citra
sepanjang masa yang baik maupun buruk (Kotler dan Keller, 2009: 230, 231]
Strategi Humas AirAsia Pasca-kecelakaan
Pada tanggal 28
Desember 2014, maskapai penerbangan murah (low-cost
carrier) Indonesia AirAsia mengumumkan bahwa pesawatnya dengan nomor
penerbangan QZ8501, yang terbang dari Surabaya ke Singapura mengangkut 162
orang, hilang. Pengumuman itu disampaikan tak lama setelah penerbangan tersebut
kehilangan kontak dengan pengatur lalu lintas udara. Hari itu juga, setelah
memberikan konfirmasi bahwa penerbangan tersebut hilang, Badan Seacrh and Rescue Nasional (BASARNAS)
Republik Indonesia mengumumkan bahwa sebuah misi pencarian dan penyelamatan
dari Indonesia, Singapura dan Malaysia dikerahkan untuk menemukan pesawat
dengan nomor pernerbangan QZ8501.
Mengiringi duka
cita nasional, berkat pemberitaan media massa elektronik dan cetak secara
nasional, beredar spekulasi tentang penyebab jatuhnya pesawat QZ8501mulai dari
pilot yang mengonsumsi narkoba hingga konspirasi dari salah satu maskapai
kompetitor yang merasa dirugikan dengan beroperasinya AirAsia di wilayah
Indonesia. Spekulasi tidak bertanggung jawab ini belakangan terbantahkan ketika
pada tanggal 1 Desember 2015 Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)
mengumumkan bahwa bahwa penyebab utama jatuhnya pesawat naas itu adalah karena
empat kali kerusakan berturut-turut hanya dalam rentang waktu beberapa menit
pada Rudder Travel Limiter Unit
(RTLU) atau sistem kendali pada kemudi di sirip ekor belakang pesawat.
Dugaan-dugaan lain terkait kecelakaan yang menelan 162 korban jiwa itu adalah
akan dihapuskannya penerbangan murah dan bangkrutnya AirAsia karena kehilangan
konsumen. Sama seperti spekulasi tentang penyebab kecelakaan, dugaan-dugaan ini
pun terbantah.
Sejumlah analis
memperkirakan insiden itu akan menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah pelancong
dalam menggunakan moda transportasi milik Grup AirAsia ini. Kekhawatiran
tersebut mempengaruhi nilai saham dalam perdagangan di bursa hari itu. Salah
satu analis dari Hong Leong Investment Bank, Daniel Wong, memperkirakan yields bisa bertahan setidaknya hingga
tahun depan. (Tempo: 2014)
Bahwa kecelakaan
tersebut berpengaruh terhadap citra AirAsia, Manajemen PT Indonesia AirAsia
tidak menyangkalnya. Namun insiden QZ8501 tersebut tidak membuat para penumpang
setia AirAsia beralih ke maskapai lainnya. “Musibah ini tidak menyurutkan minat
penumpang untuk tetap setia terbang bersama pesawat kami. Dari segi bisnis, load factor penumpang pun tidak turun
drastis, masih di kisaran 79 persen,” kata Dharmadi, Komisari AirAsia. (CNN
Indonesia: 2015).
Bahkan, tidak
bangkrut lalu tutup, Indonesia AirAsia berhasil meraih penghargaan sebagai
maskapai penerbangan terbaik tahun 2015 oleh Bandara Internasional Adisucipto
Yogyakarta. Di tingkat internasional, AirAsia meraih penghargaan SkyTrax 2015. Pencapaian
itu diumumkan dalam acara The World Airline Awards 2015 yang berlangsung di
tengah pameran kedirgantaraan Paris Airshow 2015 di Prancis, Selasa, 16 Juni
2015. Dalam acara ini AirAsia meraih empat penghargaan dalam di bidang maskapai
berbiaya rendah (low
cost carrier/LCC). Tan Sri Tony Fernandes, CEO AirAsia Group, yang
hadir di acara tersebut mengatakan, “Kami menghadapi banyak tantangan selama
setahun terakhir ini. Tetapi saya dengan bangga menyatakan bahwa seluruh staf
bersatu bersama untuk pelanggan AirAsia dan menjadikan kami semua lebih kuat
dibandingkan sebelumnya.” (Tempo, 2015).
Menurut Audrey
Progastama Petriny, Head of Corporate Secretary and Communications PT Indonesia
AirAsia, bagi maskapai penerbangan
komersial apa pun dan di mana pun di dunia kecelakaan pesawat adalah tragedi
yang paling fatal, tetapi AirAsia optimistis mampu bangkit dan melewati musibah
serta kembali berkompetisi dalam bisnis penerbangan low cost carrier (LCC) dan terbukti 4 bulan pascakecelakaan QZ 8501
rute Surabaya-Singapura maskapai tersebut keluar dari krisis dan berhasil
melakukan rebranding.
Pada tahun 2001,
Tony Fernandes, seorang akuntan berpendidikan Inggris, berencana membuka
maskapai diskon pertama Malaysia tetapi tidak mendapatkan izin. Saat itulah dia
mendengar bahwa maskapai milik negara Malaysia, AirAsia, yang bangkrut dengan
utang 11 juta USD dan dua pesawat Boeing, bisa dibeli dari pemerintah Malaysia.
Fernandes pun menawarkan idenya kepada Perdana Menteri Malaysia saat itu,
Mahathir Mohammad.
Pada Oktober 2001
kedua orang itu bertemu. Fernandes mengatakan kepada Mahathir bahwa sebuah
maskapai diskon bisa merevolusi perjalanan udara di Asia Tenggara dan
mendongkrak industri pariwisata ketika maskapai di seluruh dunia sedang
berjuang mengatasi dampak serangan teroris 11 September 2001 di Amerika
Serikat. Mahathir Mohammad berhasil diyakinkan dan Fernandes cukup membayar satu keping RM1 (0.25 dolar AS), dan setuju untuk
menanggung hutang maskapai sebesar RM40 juta. Banyak pengamat yang meragukan
ide Fernandes untuk mengoperasikan sebuah maskapai bangkrut.
Pada tahun 2002,
Fernandes meluncurkan AirAsia di Malaysia, memelopori maskapai penerbangan
murah di kawasan Asia Tenggara. Dia menjadi terkenal karena menumbangkan
dominasi maskapai-maskapai penerbangan nasional dan menjadikan terbang
terjangkau bagi jutaan orang Asia yang tergolong dalam segmen kelas menengah.
Fernandes memperkenalkan penerbangan sekali jalan dengan tiket seharga 2,5
dolar AS, mendorong ribuan orang Malaysia untuk terbang. Dikabarkan bahwa
Fernandes mampu mempertahankan biaya rendah dengan penerbangan jarak pendek,
tingginya tingkat penggunaan pesawat terbang, dan pergiliran penerbangan yang
lebih cepat. Dia juga berhasil mendatangkan uang dari penjualan minuman dalam
penerbangan, kerja sama pemasaran dengan perusahaan-perusahaan lain, dan
layanan kargo yang menarik.
Masuknya AirAsia
ke pasar penerbangan pada Desember 2001 sebagai maskapai berbiaya murah telah
mengubah wajah industri perjalanan udara Malaysia menjadi sebuah pasar yang
lebih kompetitif. Bukan hanya di Malaysia, Indonesia AirAsia, yang didirikan
pada tanggal 8 Desember 2004, juga mengubah peta bisnis penerbangan di
Indonesia dengan tarif murahnya. Dalam berbagai tulisan di blog perjalanan,
mudah dijumpai ungkapan para pelancong yang menjelajahi negara-negara Asia
Tenggara berkat tiket promo AirAsia. Untuk penerbangan luar negeri, Air Asia
Indonesia melayani rute penerbangan di kawasan ASEAN. Negara-negara ASEAN yang
dilayanai oleh rute penerbangan Air Asia Indonesia antara lain Singapura,
Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan Bandara Adisucipto Yogyakarta,
misalnya, AirAsia melayani tiga penerbangan internasional yaitu tujuan Kuala
Lumpur, Singapura, dan Johor Bahru. Di samping harga tiket yang relatif
terjangkau, penerbangan ke luar negeri tersebut banyak diminati karena warga
negara Indonesia bebas masuk tanpa visa ke negara-negara ASEAN dan pajak
bandara (airport tax) sudah
digabungkan dengan harga tiket. Dengan demikian para calom penumpang tidak
perlu membayar airport tax, yang
sempat membuat banyak orang enggan berwisata ke luar negeri. Mobilitas manusia
dengan angkutan udara inilah yang merupakan visi dan misi AirAsia.
“AirAsia telah memicu revolusi perjalanan udara akibat
semakin banyak orang di seluruh dunia menunjuk kami sebagai pilihan utama
transportasi udara. Sembari terus berusaha untuk mendorong perjalanan udara,
kami juga berusaha menciptakan suasana bahagia bagi para penumpang dengan
jajaran layanan kami yang inovatif dan menyesuaikan kebutuhan Anda.
Misi kami adalah mencapai biaya termurah sehingga semua orang dapat terbang
bersama AirAsia sementara menjaga kualitas tertinggi, memanfaatkan teknologi
untuk mengurangi biaya juga meningkatkan layanan.”
Tidak mudah bagi
perusahaan Malaysia untuk membidik pangsa pasar kelas menengah Indonesia karena
adanya sentimen negatif terhadap Malaysia, terutama karena persoalan klaim oleh
pihak Malaysia terhadap warisan budaya Indonesia. Isu yang sering diangkat
media massa Indonesia ini tentu berpengaruh terhadap perilaku konsumen kelas
menengah Indonesia terhadap produk-produk dari Malaysia. Tetapi sentimen
semacam itu rupanya tidak berlaku untuk konsumen pengguna jasa AirAsia.
Manajemen AirAsia berhasil menjadikan perusahaan mereka sebagai maskapai yang
harus diperhitungkan dalam bisnis penerbangan sekalipun banyak maskapai
Indonesia yang juga menggunakan strategi penerbangan murah.
Lebih dari itu, berbeda dari maskapai-maskapai swasta
yang surut atau bahkan bangkrut setelah mengalami kecelakaan fatal yang menelan
korban jiwa seluruh penumpang, AirAsia mampu menghadapi berbagai macam tekanan
dan bangkit kembali, bahkan tetap menjadi yang terbaik sebagaimana dibuktikan
dengan penghargaan-penghargaan yang disebutkan di atas.
Tidak ada orang
yang menginginkan terjadi suatu kecelakaan, tetapi Public Relations sebuah perusahaan dituntut untuk selalu dapat
menangani situasi krisis manakala kecelakaan terjadi, tak terkecuali PR
AirAsia. Ada duka, ada pula hikmah di balik sebuah kecelakaan. Berikut adalah
beberapa belajaran yang bisa dipetik dari PR AirAsia dalam menangani situasi
krisis.
Penelitian yang
dilakukan Nadia Hanum Amiruddin di Malaysia menunjukkan bahwa dari segi tangibility, reliability, responsiveness,
assurance, dan empathy masih banyak yang harus dibenahi oleh pihak manajemen
AirAsia. Loyalitas konsumen terhadap AirAsia bertahan karena tiket murah.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa di antara kualitas pelayanan dan harga,
hargalah yang lebih menentukan loyalitas konsumen (Nadia Hanum Amiruddin, 2013:
34,38).
Tetapi, ketika
terjadi krisis merek, harga dan kualitas pelayanan saja tidak cukup. Kecepatan
respons kehumasan sangat signifikan dalam menjaga citra perusahaan, dan dengan
demikian menjaga loyalitas konsumen. Cepatnya respons ini tentu saja tidak akan
berarti banyak jika tidak didukung oleh tindakan puncak kepemimpinan. Dalam hal
ini, AirAsia menjadikan CEO AirAsia Tony Fernandes ikon sentral dalam mengelola
krisis. Pergerakan cepat
CEO Airasia ini terpantau mulai dari keberangkatan ke Surabaya,
AirAsia ingin menunjukkan rasa empati, rasa bersama menanggung kesedihan
bersama keluarga yang sedang cemas ketika itu. Walaupun AirAsia sudah
menunjukan rasa empati melalui media Twitter, Facebook dan lain-lain, namun
kunci komunikasi krisis terpenting AirAsia adalah CEO Tony Fernandes yang
langsung berada ditempat kejadian, untuk turur serta merasakan kesedihan
para keluarga para penumpang dan kru AirAsia QZ8501.
Tak hanya itu, humas AirAsia menggunakan beberapa buzzer seperti teman dekat
CEO Air Asia, Richard Branson pemilik maskapai Virgin. Setelah mengucapkan
duka, Richard Branson me-retweet
berita dan men-tweet berita tentang Tony Fernandes yang berjasa
terhadap perekonomian Indonesia, yang lalu di-retweet ribuan orang dan pada akhirnya munculnya duka
mendalam dari beberapa artis dunia, pemain bola, dan orang-orang yang
berpengaruh besar terhadap masyarkat dunia.
Efek yang dibangun
dalam komunikasi krisis oleh tim PR AirAsia menjadikan mereka adalah bagian
dari keluarga dari manajemen air Asia itu sendiri, yang pada
puncaknya, CEO Air Asia menyatakan bertanggung jawab penuh atas semua
musibah ini, membuat masyarakat Indonesia bangga dengan AirAsia. Kabar burung
tentang pilot AirAsia yang menggunakan narkoba, berbagai teori konspirasi
seperti prediksi AirAsia jatuh
seminggu sebelum kejadian, adanya kesalahan AirAsia dalam mengubah
jadwal penerbangan padahal sudah dilarang, semuanya tenggelam berkat kesigapan
PR AirAsia.
Daftar Rujukan
Fandy Tjiptono dan Gregorius Chandra, Service, Quality dan Satisfaction, Andi,
Yogyakarta, 2005.
Kotler, Philip dan Keller, Kevin Lane, Manajemen Pemasaran, diterjemahkan oleh
Bob Sabran, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009.
Nadia Hanum Amiruddin, Price, Service Quality And Consumer Loyalty: A Case of Air Asia,
South East Asia Journal of Contemporary Businessm Economics and Law, Vol. 2.
Issue 1 (June), 2013.
Internet:
No comments:
Post a Comment