Pages

Tuesday, December 15, 2015

Komunikasi Dalam Krisis




Kualitas Pelayanan dan Harga
Saat ini pasar semakin kompetitif dalam semua aspek kelangsungan hidup perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa paham betul bahwa untuk menguasai pasar mereka harus mengeksplorasi cara-cara baru untuk mendekati konsumen. Oleh karena itu, penting sekali bagi sebuah perusahaan untuk mempertahankan loyalitas konsumen (Nadia Hanum Amiruddin, 2013: 34).
Gagasan tentang kualitas pelayanan yang dikembangkan Leonard L. Barry, A. Parasuraman dan Zeithaml dikenal dengan service quality (SERVQUAL) didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu reliability (keandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance (jaminan), empathy (empati), dan tangibles (bukti langsung) (F. Tjiptono dan G. Chandra, 2011: 180). Namun, sebagaimana disimpulkan dalam penelitian yang dilakukan Nadia Hanum Amiruddin, dalam kasus AirAsia, terungkap bahwa antara kualitas pelayanan dan harga, harga merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap loyalitas konsumen. Bisa disimpulkan bahwa jika AirAsia tetap menawarkan tiket penerbangan murah bagi konsumen, kemungkinan untuk meningkatkan loyalitas konsumen akan tetap tinggi. Kendati demikian, bukan berarti kualitas pelayanan tidak penting, tetapi harga memberi pengaruh agak tinggi bagi pemeliharaan loyalitas pelanggan (Nadia Hanum Amiruddin, 2013: 34)
Betapapun bagusnya kualitas pelayanan yang diberikan suatu perusahaan, semua perusahaan pasti pernah melakukan kesalahan dalam aktivitasnya memenuhi harapan konsumen masa kini, yang cenderung lebih banyak menuntut dan kurang loyal dibanding yang sudah-sudah. Bitner (1993) berpendapat bahwa karena uniknya sifat pelayanan, mustahil memastikan adanya pelayanan yang 100 persen terbebas dari kesalahan. Bahkan organisasi paling berorientasi konsumen dengan program kualitas paling maju sekalipun tetap tidak mampu menyingkirkan kegagalan pelayanan (del Río-Lanza et al, 2009). Karena itulah kegagalan memberikan pelayanan merupakan sebuah tantangan signifikan bagi semua organisasi penyedia jasa. Berbagai temuan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan produk dan jasa bisa mendatangkan banyak konsekuensi tak diinginkan bagi organisasi. Di antara konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan itu adalah kemarahan konsumen (Folkes, 1984; Folkes et al., 1987), ketidakpuasan (Bitner et al., 1990; Bitner, 1990; Hess et al., 2003; Tsiros et al., 2004), niatan-niatan untuk mengeluh (Folkes, 1984; Folkes et al., 1987), hasrat untuk mengganggu bisnis suatu perusahaan (Folkes, 1984), dan meninggalkan/beralih (Keaveney, 1995) (Nadia Hanum Amiruddin, 2013: 34)
Manajer pemasaran harus mengasumsikan bahwa pada beberapa waktu tertentu, beberapa jenis krisis merek akan terjadi. Berbagai merek seperti ban Firestone, minyak Exxon, dan Martha Stewart semua pernah mengalami krisis merek yang berpotensi melumpuhkan. Hal ini akan sangat merusak jika ada konsekuensi luas pada: (1) hilangnya penjualan produk, (2) penurunan efektivitas kegiatan pemasaran produk, (3) peningkatan sensitivitas pada kegiatan pemasaran perusahaan pesaing, dan (4) penurunan efektivitas kegiatan pemasarannya terhadap penjualan merek pesaing yang tidak terpengaruh (Kotler dan Keller, 2009: 231.)
Secara umum, semakin kuat ekuitas merek dan citra korporat yang sudah tertanam—terutama kredibilitas dan tingkat kepercayaan korporat—semakin besar kemungkinan perusahaan itu dapat menghadapi masalah. Meskipun demikian, persiapan yang cermat dan program manajemen krisis yang dikelola dengan baik juga penting. Seperti penanganan Johnson & Johnson yang hampir sempurna terhadap insiden yang menimpa produk Tylenol, kunci untuk mengelola krisis adalah bahwa konsumen melihat tindakan perusahaan sebagai respons yang cepat dan jujur. Pelanggan harus segera merasakan bahwa perusahaan benar-benar peduli. Mendengarkan saja tidaklah cukup (Kotler dan Keller, 2009: 231).
Semakin lama perusahaan merespons kriris, semakin besar kemungkinan konsumen membentuk kesan negatif dari liputan media atau berita dari mulut ke mulut yang merugikan. Mungkin lebih buruk lagi, konsumen menemukan bahwa mereka tidak benar-benar menyukai merek sama sekali dan beralih dari merek atau produk untuk selamanya. Menangani masalah dengan humas, dan mungkin dengan iklan, dapat menghindari masalah ini (Kotler dan Keller, 2009: 231)
Semakin jujur respons perusahaan—pengakuan publik tentang dampak produk terhadap konsumen dan kemauan untuk mengambil langkah apa pun yang diperlukan untuk menyelesaikan krisis—semakin kecil kemungkinan konsumen akan membentuk atribusi negatif (Kotler, 2009: 231).
Perusahaan tidak hanya harus berhubungan secara konstruktif dengan pelanggan, pemasok, dan penyalur, tetapi juga harus berhubungan dengan sejumlah besar masyarakat yang berminat. Masyarakat (public) adalah semua kelompok yang memiliki minat aktual atau potensial atau mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk untuk mencapai tujuannya. Hubungan masyarakat (public relations—PR) meliputi berbagai program untuk mempromosikan atau melindungi citra atau produk individual perusahaan (Kotler, 2009: 229).
Perusahaan yang bijaksana mengambil langkah konkret untuk mengelola hubungan yang berhasil dengan masyarakat kuncinya. Sebagian besar perusahaan mempunyai departemen hubungan masyarakat yang mengamati sikap masyarakat di dalam organisasi serta mendistribusikan informasi dan komunikasi untuk membangun itikad baik (goodwill). Departemen humas terbaik membimbing manajemen puncak untuk menerapkan program yang positif dan menghilangkan praktek yang patut dipertanyakan sehingga publisitas negatif tidak timbul. Mereka melaksanakan lima fungsi berikut:
1.   Hubungan persMempresentasikan berita dan informasi tentang organisasi dalam pandangan yang paling positif.
2.   Publisitas produkMensponsori usaha untuk mempublikasikan produk tertentu.
3.   Komunikasi korporatMempromosikan pemahaman organisasi melalui komunikasi internal dan eksternal.
4.   MelobiBernegosiasi dengan pembuat peraturan dan pejabat pemerintah untuk mengajukan atau melonggarkan undang-undang dan peraturan.
5.   KonselingMemberikan saran kepada manajemen tentang masalah publik, dan posisi perusahaan serta citra sepanjang masa yang baik maupun buruk (Kotler dan Keller, 2009: 230, 231]

 
referensi manajemen pemasaran komunikasi dalam krisis
AirAsia penerbangan rute Yogyakarta - Kuala Lumpur

Strategi Humas AirAsia Pasca-kecelakaan
Pada tanggal 28 Desember 2014, maskapai penerbangan murah (low-cost carrier) Indonesia AirAsia mengumumkan bahwa pesawatnya dengan nomor penerbangan QZ8501, yang terbang dari Surabaya ke Singapura mengangkut 162 orang, hilang. Pengumuman itu disampaikan tak lama setelah penerbangan tersebut kehilangan kontak dengan pengatur lalu lintas udara. Hari itu juga, setelah memberikan konfirmasi bahwa penerbangan tersebut hilang, Badan Seacrh and Rescue Nasional (BASARNAS) Republik Indonesia mengumumkan bahwa sebuah misi pencarian dan penyelamatan dari Indonesia, Singapura dan Malaysia dikerahkan untuk menemukan pesawat dengan nomor pernerbangan QZ8501.
Mengiringi duka cita nasional, berkat pemberitaan media massa elektronik dan cetak secara nasional, beredar spekulasi tentang penyebab jatuhnya pesawat QZ8501mulai dari pilot yang mengonsumsi narkoba hingga konspirasi dari salah satu maskapai kompetitor yang merasa dirugikan dengan beroperasinya AirAsia di wilayah Indonesia. Spekulasi tidak bertanggung jawab ini belakangan terbantahkan ketika pada tanggal 1 Desember 2015 Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan bahwa bahwa penyebab utama jatuhnya pesawat naas itu adalah karena empat kali kerusakan berturut-turut hanya dalam rentang waktu beberapa menit pada Rudder Travel Limiter Unit (RTLU) atau sistem kendali pada kemudi di sirip ekor belakang pesawat. Dugaan-dugaan lain terkait kecelakaan yang menelan 162 korban jiwa itu adalah akan dihapuskannya penerbangan murah dan bangkrutnya AirAsia karena kehilangan konsumen. Sama seperti spekulasi tentang penyebab kecelakaan, dugaan-dugaan ini pun terbantah.
Sejumlah analis memperkirakan insiden itu akan menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah pelancong dalam menggunakan moda transportasi milik Grup AirAsia ini. Kekhawatiran tersebut mempengaruhi nilai saham dalam perdagangan di bursa hari itu. Salah satu analis dari Hong Leong Investment Bank, Daniel Wong, memperkirakan yields bisa bertahan setidaknya hingga tahun depan. (Tempo: 2014)
Bahwa kecelakaan tersebut berpengaruh terhadap citra AirAsia, Manajemen PT Indonesia AirAsia tidak menyangkalnya. Namun insiden QZ8501 tersebut tidak membuat para penumpang setia AirAsia beralih ke maskapai lainnya. “Musibah ini tidak menyurutkan minat penumpang untuk tetap setia terbang bersama pesawat kami. Dari segi bisnis, load factor penumpang pun tidak turun drastis, masih di kisaran 79 persen,” kata Dharmadi, Komisari AirAsia. (CNN Indonesia: 2015).
Bahkan, tidak bangkrut lalu tutup, Indonesia AirAsia berhasil meraih penghargaan sebagai maskapai penerbangan terbaik tahun 2015 oleh Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta. Di tingkat internasional, AirAsia meraih penghargaan SkyTrax 2015. Pencapaian itu diumumkan dalam acara The World Airline Awards 2015 yang berlangsung di tengah pameran kedirgantaraan Paris Airshow 2015 di Prancis, Selasa, 16 Juni 2015. Dalam acara ini AirAsia meraih empat penghargaan dalam di bidang maskapai berbiaya rendah (low cost carrier/LCC). Tan Sri Tony Fernandes, CEO AirAsia Group, yang hadir di acara tersebut mengatakan, “Kami menghadapi banyak tantangan selama setahun terakhir ini. Tetapi saya dengan bangga menyatakan bahwa seluruh staf bersatu bersama untuk pelanggan AirAsia dan menjadikan kami semua lebih kuat dibandingkan sebelumnya.” (Tempo, 2015).
Menurut Audrey Progastama Petriny, Head of Corporate Secretary and Communications PT Indonesia AirAsia,  bagi maskapai penerbangan komersial apa pun dan di mana pun di dunia kecelakaan pesawat adalah tragedi yang paling fatal, tetapi AirAsia optimistis mampu bangkit dan melewati musibah serta kembali berkompetisi dalam bisnis penerbangan low cost carrier (LCC) dan terbukti 4 bulan pascakecelakaan QZ 8501 rute Surabaya-Singapura maskapai tersebut keluar dari krisis dan berhasil melakukan rebranding
Pada tahun 2001, Tony Fernandes, seorang akuntan berpendidikan Inggris, berencana membuka maskapai diskon pertama Malaysia tetapi tidak mendapatkan izin. Saat itulah dia mendengar bahwa maskapai milik negara Malaysia, AirAsia, yang bangkrut dengan utang 11 juta USD dan dua pesawat Boeing, bisa dibeli dari pemerintah Malaysia. Fernandes pun menawarkan idenya kepada Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohammad.
Pada Oktober 2001 kedua orang itu bertemu. Fernandes mengatakan kepada Mahathir bahwa sebuah maskapai diskon bisa merevolusi perjalanan udara di Asia Tenggara dan mendongkrak industri pariwisata ketika maskapai di seluruh dunia sedang berjuang mengatasi dampak serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat. Mahathir Mohammad berhasil diyakinkan dan Fernandes cukup membayar satu keping RM1 (0.25 dolar AS), dan setuju untuk menanggung hutang maskapai sebesar RM40 juta. Banyak pengamat yang meragukan ide Fernandes untuk mengoperasikan sebuah maskapai bangkrut.
Pada tahun 2002, Fernandes meluncurkan AirAsia di Malaysia, memelopori maskapai penerbangan murah di kawasan Asia Tenggara. Dia menjadi terkenal karena menumbangkan dominasi maskapai-maskapai penerbangan nasional dan menjadikan terbang terjangkau bagi jutaan orang Asia yang tergolong dalam segmen kelas menengah. Fernandes memperkenalkan penerbangan sekali jalan dengan tiket seharga 2,5 dolar AS, mendorong ribuan orang Malaysia untuk terbang. Dikabarkan bahwa Fernandes mampu mempertahankan biaya rendah dengan penerbangan jarak pendek, tingginya tingkat penggunaan pesawat terbang, dan pergiliran penerbangan yang lebih cepat. Dia juga berhasil mendatangkan uang dari penjualan minuman dalam penerbangan, kerja sama pemasaran dengan perusahaan-perusahaan lain, dan layanan kargo yang menarik.
Masuknya AirAsia ke pasar penerbangan pada Desember 2001 sebagai maskapai berbiaya murah telah mengubah wajah industri perjalanan udara Malaysia menjadi sebuah pasar yang lebih kompetitif. Bukan hanya di Malaysia, Indonesia AirAsia, yang didirikan pada tanggal 8 Desember 2004, juga mengubah peta bisnis penerbangan di Indonesia dengan tarif murahnya. Dalam berbagai tulisan di blog perjalanan, mudah dijumpai ungkapan para pelancong yang menjelajahi negara-negara Asia Tenggara berkat tiket promo AirAsia. Untuk penerbangan luar negeri, Air Asia Indonesia melayani rute penerbangan di kawasan ASEAN. Negara-negara ASEAN yang dilayanai oleh rute penerbangan Air Asia Indonesia antara lain Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan Bandara Adisucipto Yogyakarta, misalnya, AirAsia melayani tiga penerbangan internasional yaitu tujuan Kuala Lumpur, Singapura, dan Johor Bahru. Di samping harga tiket yang relatif terjangkau, penerbangan ke luar negeri tersebut banyak diminati karena warga negara Indonesia bebas masuk tanpa visa ke negara-negara ASEAN dan pajak bandara (airport tax) sudah digabungkan dengan harga tiket. Dengan demikian para calom penumpang tidak perlu membayar airport tax, yang sempat membuat banyak orang enggan berwisata ke luar negeri. Mobilitas manusia dengan angkutan udara inilah yang merupakan visi dan misi AirAsia.
“AirAsia telah memicu revolusi perjalanan udara akibat semakin banyak orang di seluruh dunia menunjuk kami sebagai pilihan utama transportasi udara. Sembari terus berusaha untuk mendorong perjalanan udara, kami juga berusaha menciptakan suasana bahagia bagi para penumpang dengan jajaran layanan kami yang inovatif dan menyesuaikan kebutuhan Anda.
Misi kami adalah mencapai biaya termurah sehingga semua orang dapat terbang bersama AirAsia sementara menjaga kualitas tertinggi, memanfaatkan teknologi untuk mengurangi biaya juga meningkatkan layanan.”

Tidak mudah bagi perusahaan Malaysia untuk membidik pangsa pasar kelas menengah Indonesia karena adanya sentimen negatif terhadap Malaysia, terutama karena persoalan klaim oleh pihak Malaysia terhadap warisan budaya Indonesia. Isu yang sering diangkat media massa Indonesia ini tentu berpengaruh terhadap perilaku konsumen kelas menengah Indonesia terhadap produk-produk dari Malaysia. Tetapi sentimen semacam itu rupanya tidak berlaku untuk konsumen pengguna jasa AirAsia. Manajemen AirAsia berhasil menjadikan perusahaan mereka sebagai maskapai yang harus diperhitungkan dalam bisnis penerbangan sekalipun banyak maskapai Indonesia yang juga menggunakan strategi penerbangan murah.
Lebih dari itu, berbeda dari maskapai-maskapai swasta yang surut atau bahkan bangkrut setelah mengalami kecelakaan fatal yang menelan korban jiwa seluruh penumpang, AirAsia mampu menghadapi berbagai macam tekanan dan bangkit kembali, bahkan tetap menjadi yang terbaik sebagaimana dibuktikan dengan penghargaan-penghargaan yang disebutkan di atas.
Tidak ada orang yang menginginkan terjadi suatu kecelakaan, tetapi Public Relations sebuah perusahaan dituntut untuk selalu dapat menangani situasi krisis manakala kecelakaan terjadi, tak terkecuali PR AirAsia. Ada duka, ada pula hikmah di balik sebuah kecelakaan. Berikut adalah beberapa belajaran yang bisa dipetik dari PR AirAsia dalam menangani situasi krisis.
Penelitian yang dilakukan Nadia Hanum Amiruddin di Malaysia menunjukkan bahwa dari segi tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy masih banyak yang harus dibenahi oleh pihak manajemen AirAsia. Loyalitas konsumen terhadap AirAsia bertahan karena tiket murah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa di antara kualitas pelayanan dan harga, hargalah yang lebih menentukan loyalitas konsumen (Nadia Hanum Amiruddin, 2013: 34,38).
Tetapi, ketika terjadi krisis merek, harga dan kualitas pelayanan saja tidak cukup. Kecepatan respons kehumasan sangat signifikan dalam menjaga citra perusahaan, dan dengan demikian menjaga loyalitas konsumen. Cepatnya respons ini tentu saja tidak akan berarti banyak jika tidak didukung oleh tindakan puncak kepemimpinan. Dalam hal ini, AirAsia menjadikan CEO AirAsia Tony Fernandes ikon sentral dalam mengelola krisis. Pergerakan cepat CEO Airasia ini terpantau  mulai dari keberangkatan ke  Surabaya, AirAsia ingin menunjukkan rasa empati, rasa bersama menanggung kesedihan bersama keluarga yang sedang cemas ketika itu. Walaupun AirAsia sudah menunjukan rasa empati melalui media Twitter, Facebook dan lain-lain, namun kunci komunikasi krisis terpenting AirAsia adalah CEO Tony Fernandes yang langsung  berada ditempat kejadian, untuk turur serta merasakan kesedihan para keluarga para penumpang dan kru AirAsia QZ8501.
Tak hanya itu, humas AirAsia menggunakan beberapa buzzer  seperti teman dekat CEO Air Asia, Richard Branson pemilik maskapai Virgin. Setelah mengucapkan duka, Richard Branson me-retweet  berita dan men-tweet berita tentang Tony Fernandes  yang berjasa terhadap perekonomian Indonesia, yang lalu di-retweet  ribuan orang dan  pada akhirnya munculnya duka mendalam dari beberapa artis dunia, pemain bola, dan orang-orang yang berpengaruh besar terhadap masyarkat dunia.
Efek yang dibangun dalam komunikasi krisis oleh tim PR AirAsia menjadikan mereka adalah bagian dari keluarga dari manajemen air Asia itu sendiri,  yang pada puncaknya,  CEO Air Asia menyatakan bertanggung jawab penuh atas semua musibah ini, membuat masyarakat Indonesia bangga dengan AirAsia. Kabar burung tentang pilot AirAsia yang menggunakan narkoba, berbagai teori konspirasi seperti prediksi AirAsia jatuh seminggu sebelum kejadian, adanya kesalahan  AirAsia dalam mengubah jadwal penerbangan padahal sudah dilarang, semuanya tenggelam berkat kesigapan PR AirAsia.

Daftar Rujukan
Fandy Tjiptono dan Gregorius Chandra, Service, Quality dan Satisfaction, Andi, Yogyakarta, 2005.
Kotler, Philip dan Keller, Kevin Lane, Manajemen Pemasaran, diterjemahkan oleh Bob Sabran, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009.
Nadia Hanum Amiruddin, Price, Service Quality And Consumer Loyalty: A Case of Air Asia, South East Asia Journal of Contemporary Businessm Economics and Law, Vol. 2. Issue 1 (June), 2013.
Internet:


No comments:

Post a Comment