Sebagai stasiun gerbang masuk Thailand selatan, kondisi
stasiun Hat Yai mewakili stasiun-stasiun lain di Thailand, kuno. Kalah jauh
dari stasiun (yang terkecil sekalipun) di negeri kita yang kita warisi dari penjajah
Belanda. Stasiun Hat Yai tidak lebih rapi dari stasiun Solo Jebres tahun
1980-an. Gerbong-gerbong yang di negeri kita sudah diistirahatkan, masih banyak
terlihat di Hat Yai.
Jika di kantor imigrasi Padang Besar masih ada petugas yang berbahasa Melayu, di Hat Yai
tidak ada. Dan bahasa Inggris mereka kebanyakan pas-pasan belaka. Untunglah
petugas informasi wisata yang sedang bertugas bahasa Inggrisnya cukup oke.
Kepadanya saya bertanya di manakah saya bisa menemukan cyber cafe atau internet cafe
(di kita disebut warnet). Dia membentangkan peta dan menunjukkan warnet yang
bisa saya capai dengan berjalan kaki di Lee Gardens Plaza, saya berterima kasih dan
berlalu. Dia memanggil saya dan mengatakan bahwa peta boleh saya bawa,
memang disediakan untuk turis. Kemudian saya mencari tempat salat. Musala terletak di deretan ruang yang sama dengan pos polisi dan pos tentara,
menghadap ke luar stasiun.
Usai salat saya membeli tiket tujuan Bangkok untuk
hari itu juga. Petugasnya bisa berbahasa Inggris yang cukup untuk keperluan
membeli tiket, meski saya harus meminta dia mengulang beberapa kata. Saya
mendapat tiket sleeper dengan tempat
tidur di atas, yang bawah sudah habis. Harga tiket 835 baht (sekitar 317.000
rupiah), berangkat pukul 18.00. Yang unik dari loket pembelian tiket di Hat Yai
adalah informasi dalam tiga bahasa: bahasa Thai dengan aksara Thai, Inggris
dengan aksara Latin, Melayu dengan aksara Arab Melayu. Hat Yai memang masih
termasuk kawasan Thailand selatan, tempat tinggal minoritas Muslim Thailand
(sekitar 4% dari seluruh penduduk Thailand), sehingga perempuan berjilbab,
bahkan bercadar, mudah dijumpai di stasiun Hat Yai.
Tiket Hat Yai - Bangkok (835 baht) |
Kemudian saya keluar stasiun untuk mencari warnet seperti yang ditunjukkan mbak petugas informasi tadi. Di luar sudah menunggu para sopir angkutan (saya dengar mereka menyebut tuk-tuk) yang menawarkan jasa mereka. Bagusnya orang-orang di Hat Yai ini, kalau kita menggeleng atau bilang tidak mereka tidak ngotot mendesak agar kita memakai jasa mereka.
Sampai di perempatan ketiga, di mana berdiri Odean Department
Store, saya belok kiri menyusuri jalan yang disebut Hatyai Walking Street yang
ramai oleh para pejalan kaki dan tak lama kemudian sampai di Lee Gardens Plaza.
Petugas hotel yang berbahasa Inggris dengan susah payah akhirnya berhasil
menjelaskan kepada saya bahwa di tempat itu yang ada cuma wifi gratis. Ya kalau
cuma itu di warung stasiun Hat Yai juga ada. Akhirnya saya putuskan kembali ke
stasiun saja untuk melihat-lihat keadaan. Dari kecil saya memang suka
duduk-duduk saja di stasiun melihat datang perginya kereta api dan kesibukan
pegawai stasiun mengatur perjalanan kereta api serta orang-orang bepergian yang
menunggu kereta api.
Meskipun keadaan stasiun-stasiun di Thailand begitu
ketinggalan zaman (di jalur Bangkok – Aranyaprathet bahkan banyak stasiun berupa bangunan kayu yang sedikit lebih besar dari gardu ronda di Ngawi) dan
kurang rapi, lokomotif dan rangkaian gerbongnya lebih mirip dengan yang kita
miliki sewaktu kereta uap belum lama beristirahat, entah kenapa saya merasakan
penghargaan yang begitu tinggi masyarakat Thailand terhadap kereta api. Di
ruang tunggu penumpang, siapa pun bebas keluar masuk tanpa membayar retribusi, terpajang
foto-foto kereta api tua dan putra-putri raja saat masih kecil menaiki kereta
api mainan. Di ruang tunggu itu juga dipajang miniatur kereta api uap. Di depan
Stasiun Hat Yai dipajang lokomotif mini seperti yang biasa dipakai untuk
mengangkut tebu di Paron, Ngawi, yang sering saya lihat saat masih kanak-kanak.
Kemudian saya masuk ke peron, juga tanpa pungutan apa pun
dan semua orang boleh melenggang masuk. Ibu-ibu dan gadis-gadis dengan kain penutup kepala menawarkan dagangannya, seperti para sopir tuk-tuk, tanpa sikap agresif. Dari
kereta api yang tiba dari arah selatan terlihat beberapa tentara bersenjata
turun. Daerah selatan Thailand memang masih rawan konflik. Pemandangan itu
mengingatkan saya pada sebuah sampul majalah bergambar prajurit bersenjata
Thalaind dengan latar belakang gadis-gadis madrasah di Yala yang saya baca
semasa sekolah dulu. Mendadak saya merasakan kesunyian yang perih.
Di toko yang menjual makanan dan minuman saya memesan es
teh seharga 35 baht dan menanyakan password wifi kepada mbak penjual. Orangnya
ramah, meski agak sulit memahami bahasa Melayunya. Kepadanya saya menanyakan
soal warnet lagi, sekadar bertanya saja, saya sudah malas menyusuri Hat Yai
mencari warnet karena waktu keberangkatan sudah dekat. Lagi pula saya sudah
bertanya lagi ke bagian informasi, dengan petugas yang sudah ganti dan bahasa Inggris
mereka patah terserah sekadar untuk mengatakan tidak ada internet cafe yang saya maksud. Soal warnet, nantilah saya cari di
Khaosan Road, menurut hasil googling saya ada banyak warnet di kawasan backpackers Bangkok itu.
Pukul 18.00 pengeras suara stasiun memperdengarkan lagu
kebangsaan Thailand, seorang petugas kereta api berseragam (di Thailand ini
seragam army look lazim benar, bahkan
sopir dan kondektur bus kota di Bangkok pun berpakaian ala tentara, lengkap
dengan tanda jasa segala) meniup peluit sebagai tanda agar semua orang berdiri
dan menghentikan semua kegiatan. Si petugas berdiri dan ikut bernyanyi,
sedangkan petugas-petugas lainnya tetap mengobrol, para penjual tetap melayani
pembeli, dan para penumpang naik turun dari kereta yang masuk dari selatan.
Bukan kereta yang akan membawa saya ke Bangkok ternyata. Ada banyak
keterlambatan jadwal hari itu.
Kereta tujuan Bangkok ada banyak, sehingga kita harus
rajin-rajin bertanya. Karena jawaban satu petugas bisa berbeda dari petugas
lain. Saya rasa kemampuan berbahasa Inggris itu penyebabnya. Seorang petugas
menunjukkan gerbong yang saya maksud setelah bertanya pada temannya dalam
bahasa Thai. Sampai gerbong yang dimaksud saya bertanya lagi pada petugas benar
tidak ini gerbong seperti yang tertera dalam tiket saya. Untunglah bahasa
Inggrisnya baik dan dia mengatakan kepada saya ini bukan kereta yang saya
maksud. Dia menyuruh saya menuju peron di mana kereta api tujuan Bangkok akan
tiba dari Sungai Kolok. Secara umum, petugas-petugas kereta api di Thailand
sangat responsif dan siap membantu. Tapi ya persoalan bahasa itu tadi.Namun,
ini tak jadi soal benar, sebab yang saya butuhkan adalah informasi
dasar bukan mengobrol. Ada kalanya bahasa isyarat disertai air muka siap
membantu sudah lebih dari cukup.
Akhirnya kereta saya tiba, saya naik ke gerbong sesuai
keterangan di karcis. Tempat duduk saya sudah ditempati dua perempuan
berjilbab. Entahlah, wajah-wajah mereka seperti sudah akrab bagi saya. Saya
segan meminta mereka pindah. Saya temui petugas sambil menunjukkan tiket, biar
dia yang menyelesaikan soal tempat duduk itu. Dalam bahasa Thai si petugas
mengatakan sesuatu kepada dua perempuan bersama dua anak laki-laki itu, kedua
perempuan itu tersenyum dan pindah ke kursi sebelah. Ketika hendak duduk saya
refleks berucap, “Maaf”. Salah seorang dari mereka meminta maaf dan
berbasa-basi seperlunya dengan saya dalam bahasa Melayu dialek Kelantan (saya
duga begitu berdasarkan obrolan dengan teman seperjalanan saya di Malaysia). Rupanya mereka dari Yala.
Dia bertanya, “Abang dari Malaysia?” Saya jawab bahwa saya dari Indonesia. Lalu
dia bercerita banyak teman-temannya yang kuliah di Indonesia, di Universitas Muhammadiyah.
Saya terus berpikir kenapa wajah perempuan ini seperti tak asing bagi saya.
Akhirnya saya hanya bisa menyimpulkan, mungkin itu karena saya gembira merasa
punya teman ketika sendirian di negeri orang.
Beberapa saat kemudian seorang petugas mengubah posisi
kursi menjadi tempat tidur dan membuka tepi atas gerbong yang diubahnya menjadi
tempat tidur atas. Saya menyesal membeli tiket dengan tempat tidur atas ini,
tahu begini mending pilih tempat duduk biasa saja. Betapa tidak, tempat tidur
di atas itu tidak menyajikan pemandangan apa pun selain langit-langit gerbong.
Sudah begitu pengamannya cuma semacam sabuk, yang dimaksudkan menahan penumpang yang
tidur agar tidak jatuh. Tapi ya sudahlah, saya berharap tidur cukup nyenyak
karena perjalanan panjang dari Kuala Lumpur. Saya naik ke tempat tidur
“menyeramkan” itu setelah mohon diri kepada orang-orang baik dari Yala tersebut.
Di ruang yang sempit tempat tidur saya membuka makanan yang
saya beli di stasiun tadi seharga 60 baht, terdiri atas sticky rice, dada ayam goreng dan hati ampela sebagai bonus dari
ibu penjualnya. Saya tadi berpikir penasaran seperti apa rasa sticky rice, sekarang saya tersenyum
sendiri, ternyata saya lupa bahwa sticky
rice adalah ketan. Haha. Tak apalah, yang penting halal dan cukup enak
ayam gorengnya. Di tempat tidur atas sebelah saya, dari gorden yang tertutup
terdengar dua bocah Yala tadi menghafal surat-surat pendek seperti yang sering dihafal
anak-anak saya di rumah. Sekali lagi, sepertinya saya sudah lama kenal kedua
bocah itu.
Berharap tidak jatuh kala tidur, saya berhati-hati
merebahkan diri. Ketakutan saya pada ketinggian memang agak mengganggu. Ini
juga alasannya saya tidak terlalu suka naik pesawat terbang :D Mungkin karena kelelahan,
saya tidur dengan segera dan sangat lelap.
Pagi hari kereta api sudah memasuki daerah yang pemandangannya
mirip-mirip Karawang dan Bekasi. Saat berhenti di Stasiun Hua Hin saya melihat
kereta uap dipajang di sebelah stasiun. Sejarah perkeretaapian Thailand seolah-olah
dilekatkan di berbagai stasiun. Salah seorang Muslimah dari Yala itu meminta
dua keponakannya (atau anaknya) untuk berbagi roti dengan saya, dan dia
memberikan makanan semacam timus seraya berkata, “Dimakan, Bang. Ini enak. Dari
ubi.”
Matahari sudah tinggi ketika kereta api memasuki kota
Bangkok, sesampai Stasiun Hua Lamphong,
saya berterima kasih atas kebaikan orang-orang dari Yala itu dan mengucapkan
salam kepada mereka sebelum turun dari gerbong dan membaur dengan kerumunan
orang yang juga baru turun dari kereta.
No comments:
Post a Comment