Pages

Thursday, November 12, 2015

Hat Yai



Sebagai stasiun gerbang masuk Thailand selatan, kondisi stasiun Hat Yai mewakili stasiun-stasiun lain di Thailand, kuno. Kalah jauh dari stasiun (yang terkecil sekalipun) di negeri kita yang kita warisi dari penjajah Belanda. Stasiun Hat Yai tidak lebih rapi dari stasiun Solo Jebres tahun 1980-an. Gerbong-gerbong yang di negeri kita sudah diistirahatkan, masih banyak terlihat di Hat Yai.
tips travelling perjalanan dengan kereta api dari Kuala Lumpur ke Hat Yai
Emplasemen Stasiun Hat Yai, Thailand


tips traveling jalur darat kereta api KL Sentral Malaysia, Hat Yai Thailand
Gerbong kuno di emplasemen Hat Yai

Jika di kantor imigrasi Padang Besar masih ada petugas yang berbahasa Melayu, di Hat Yai tidak ada. Dan bahasa Inggris mereka kebanyakan pas-pasan belaka. Untunglah petugas informasi wisata yang sedang bertugas bahasa Inggrisnya cukup oke. Kepadanya saya bertanya di manakah saya bisa menemukan cyber cafe atau internet cafe (di kita disebut warnet). Dia membentangkan peta dan menunjukkan warnet yang bisa saya capai dengan berjalan kaki di Lee Gardens Plaza, saya berterima kasih dan berlalu. Dia memanggil saya dan mengatakan bahwa peta boleh saya bawa, memang disediakan untuk turis. Kemudian saya mencari tempat salat. Musala terletak di deretan ruang yang sama dengan pos polisi dan pos tentara, menghadap ke luar stasiun.
perjalanan kereta api Malaysia dan Thailand
Peta Hat Yai pemberian petugas informasi turis di stasiun

perjalanan kereta api KL Sentral Kuala Lumpur ke Hat Yai
Muslim prayer room/tempat sembahyang, begitu bunyi tulisan di pintu musala stasiun Hat Yai ini

Usai salat saya membeli tiket tujuan Bangkok untuk hari itu juga. Petugasnya bisa berbahasa Inggris yang cukup untuk keperluan membeli tiket, meski saya harus meminta dia mengulang beberapa kata. Saya mendapat tiket sleeper dengan tempat tidur di atas, yang bawah sudah habis. Harga tiket 835 baht (sekitar 317.000 rupiah), berangkat pukul 18.00. Yang unik dari loket pembelian tiket di Hat Yai adalah informasi dalam tiga bahasa: bahasa Thai dengan aksara Thai, Inggris dengan aksara Latin, Melayu dengan aksara Arab Melayu. Hat Yai memang masih termasuk kawasan Thailand selatan, tempat tinggal minoritas Muslim Thailand (sekitar 4% dari seluruh penduduk Thailand), sehingga perempuan berjilbab, bahkan bercadar, mudah dijumpai di stasiun Hat Yai.
perjalanan darat Kuala Lumpur ke Ho Chi Minh City (Saigon)
Tiket Hat Yai - Bangkok (835 baht)

Kemudian saya keluar stasiun untuk mencari warnet seperti yang ditunjukkan mbak petugas informasi tadi. Di luar sudah menunggu para sopir angkutan (saya dengar mereka menyebut tuk-tuk) yang menawarkan jasa mereka. Bagusnya orang-orang di Hat Yai ini, kalau kita menggeleng atau bilang tidak mereka tidak ngotot mendesak agar kita memakai jasa mereka.
KL Sentral Kuala Lumpur ke Hat Yai Thailand
Angkutan umum ngetem di depan Stasiun Hat Yai, Daihatsu Hijet 1000

Sampai di perempatan ketiga, di mana berdiri Odean Department Store, saya belok kiri menyusuri jalan yang disebut Hatyai Walking Street yang ramai oleh para pejalan kaki dan tak lama kemudian sampai di Lee Gardens Plaza. Petugas hotel yang berbahasa Inggris dengan susah payah akhirnya berhasil menjelaskan kepada saya bahwa di tempat itu yang ada cuma wifi gratis. Ya kalau cuma itu di warung stasiun Hat Yai juga ada. Akhirnya saya putuskan kembali ke stasiun saja untuk melihat-lihat keadaan. Dari kecil saya memang suka duduk-duduk saja di stasiun melihat datang perginya kereta api dan kesibukan pegawai stasiun mengatur perjalanan kereta api serta orang-orang bepergian yang menunggu kereta api.
Meskipun keadaan stasiun-stasiun di Thailand begitu ketinggalan zaman (di jalur Bangkok – Aranyaprathet bahkan banyak stasiun berupa bangunan kayu yang sedikit lebih besar dari gardu ronda di Ngawi) dan kurang rapi, lokomotif dan rangkaian gerbongnya lebih mirip dengan yang kita miliki sewaktu kereta uap belum lama beristirahat, entah kenapa saya merasakan penghargaan yang begitu tinggi masyarakat Thailand terhadap kereta api. Di ruang tunggu penumpang, siapa pun bebas keluar masuk tanpa membayar retribusi, terpajang foto-foto kereta api tua dan putra-putri raja saat masih kecil menaiki kereta api mainan. Di ruang tunggu itu juga dipajang miniatur kereta api uap. Di depan Stasiun Hat Yai dipajang lokomotif mini seperti yang biasa dipakai untuk mengangkut tebu di Paron, Ngawi, yang sering saya lihat saat masih kanak-kanak.
Hat Yai Thailand Selatan
Monumen kereta mini di depan Stasiun Hat Yai

Kemudian saya masuk ke peron, juga tanpa pungutan apa pun dan semua orang boleh melenggang masuk. Ibu-ibu dan gadis-gadis dengan kain penutup kepala menawarkan dagangannya, seperti para sopir tuk-tuk, tanpa sikap agresif. Dari kereta api yang tiba dari arah selatan terlihat beberapa tentara bersenjata turun. Daerah selatan Thailand memang masih rawan konflik. Pemandangan itu mengingatkan saya pada sebuah sampul majalah bergambar prajurit bersenjata Thalaind dengan latar belakang gadis-gadis madrasah di Yala yang saya baca semasa sekolah dulu. Mendadak saya merasakan kesunyian yang perih.
Di toko yang menjual makanan dan minuman saya memesan es teh seharga 35 baht dan menanyakan password wifi kepada mbak penjual. Orangnya ramah, meski agak sulit memahami bahasa Melayunya. Kepadanya saya menanyakan soal warnet lagi, sekadar bertanya saja, saya sudah malas menyusuri Hat Yai mencari warnet karena waktu keberangkatan sudah dekat. Lagi pula saya sudah bertanya lagi ke bagian informasi, dengan petugas yang sudah ganti dan bahasa Inggris mereka patah terserah sekadar untuk mengatakan tidak ada internet cafe yang saya maksud. Soal warnet, nantilah saya cari di Khaosan Road, menurut hasil googling saya ada banyak warnet di kawasan backpackers Bangkok itu.
    Pukul 18.00 pengeras suara stasiun memperdengarkan lagu kebangsaan Thailand, seorang petugas kereta api berseragam (di Thailand ini seragam army look lazim benar, bahkan sopir dan kondektur bus kota di Bangkok pun berpakaian ala tentara, lengkap dengan tanda jasa segala) meniup peluit sebagai tanda agar semua orang berdiri dan menghentikan semua kegiatan. Si petugas berdiri dan ikut bernyanyi, sedangkan petugas-petugas lainnya tetap mengobrol, para penjual tetap melayani pembeli, dan para penumpang naik turun dari kereta yang masuk dari selatan. Bukan kereta yang akan membawa saya ke Bangkok ternyata. Ada banyak keterlambatan jadwal hari itu.
Kereta tujuan Bangkok ada banyak, sehingga kita harus rajin-rajin bertanya. Karena jawaban satu petugas bisa berbeda dari petugas lain. Saya rasa kemampuan berbahasa Inggris itu penyebabnya. Seorang petugas menunjukkan gerbong yang saya maksud setelah bertanya pada temannya dalam bahasa Thai. Sampai gerbong yang dimaksud saya bertanya lagi pada petugas benar tidak ini gerbong seperti yang tertera dalam tiket saya. Untunglah bahasa Inggrisnya baik dan dia mengatakan kepada saya ini bukan kereta yang saya maksud. Dia menyuruh saya menuju peron di mana kereta api tujuan Bangkok akan tiba dari Sungai Kolok. Secara umum, petugas-petugas kereta api di Thailand sangat responsif dan siap membantu. Tapi ya persoalan bahasa itu tadi.Namun, ini tak jadi soal benar, sebab yang saya butuhkan adalah informasi dasar bukan mengobrol. Ada kalanya bahasa isyarat disertai air muka siap membantu sudah lebih dari cukup.
Akhirnya kereta saya tiba, saya naik ke gerbong sesuai keterangan di karcis. Tempat duduk saya sudah ditempati dua perempuan berjilbab. Entahlah, wajah-wajah mereka seperti sudah akrab bagi saya. Saya segan meminta mereka pindah. Saya temui petugas sambil menunjukkan tiket, biar dia yang menyelesaikan soal tempat duduk itu. Dalam bahasa Thai si petugas mengatakan sesuatu kepada dua perempuan bersama dua anak laki-laki itu, kedua perempuan itu tersenyum dan pindah ke kursi sebelah. Ketika hendak duduk saya refleks berucap, “Maaf”. Salah seorang dari mereka meminta maaf dan berbasa-basi seperlunya dengan saya dalam bahasa Melayu dialek Kelantan (saya duga begitu berdasarkan obrolan dengan teman seperjalanan saya di Malaysia). Rupanya mereka dari Yala. Dia bertanya, “Abang dari Malaysia?” Saya jawab bahwa saya dari Indonesia. Lalu dia bercerita banyak teman-temannya yang kuliah di Indonesia, di Universitas Muhammadiyah. Saya terus berpikir kenapa wajah perempuan ini seperti tak asing bagi saya. Akhirnya saya hanya bisa menyimpulkan, mungkin itu karena saya gembira merasa punya teman ketika sendirian di negeri orang.
Beberapa saat kemudian seorang petugas mengubah posisi kursi menjadi tempat tidur dan membuka tepi atas gerbong yang diubahnya menjadi tempat tidur atas. Saya menyesal membeli tiket dengan tempat tidur atas ini, tahu begini mending pilih tempat duduk biasa saja. Betapa tidak, tempat tidur di atas itu tidak menyajikan pemandangan apa pun selain langit-langit gerbong. Sudah begitu pengamannya cuma semacam sabuk, yang dimaksudkan menahan penumpang yang tidur agar tidak jatuh. Tapi ya sudahlah, saya berharap tidur cukup nyenyak karena perjalanan panjang dari Kuala Lumpur. Saya naik ke tempat tidur “menyeramkan” itu setelah mohon diri kepada orang-orang baik dari Yala tersebut.
Di ruang yang sempit tempat tidur saya membuka makanan yang saya beli di stasiun tadi seharga 60 baht, terdiri atas sticky rice, dada ayam goreng dan hati ampela sebagai bonus dari ibu penjualnya. Saya tadi berpikir penasaran seperti apa rasa sticky rice, sekarang saya tersenyum sendiri, ternyata saya lupa bahwa sticky rice adalah ketan. Haha. Tak apalah, yang penting halal dan cukup enak ayam gorengnya. Di tempat tidur atas sebelah saya, dari gorden yang tertutup terdengar dua bocah Yala tadi menghafal surat-surat pendek seperti yang sering dihafal anak-anak saya di rumah. Sekali lagi, sepertinya saya sudah lama kenal kedua bocah itu.
Berharap tidak jatuh kala tidur, saya berhati-hati merebahkan diri. Ketakutan saya pada ketinggian memang agak mengganggu. Ini juga alasannya saya tidak terlalu suka naik pesawat terbang :D Mungkin karena kelelahan, saya tidur dengan segera dan sangat  lelap.
Pagi hari kereta api sudah memasuki daerah yang pemandangannya mirip-mirip Karawang dan Bekasi. Saat berhenti di Stasiun Hua Hin saya melihat kereta uap dipajang di sebelah stasiun. Sejarah perkeretaapian Thailand seolah-olah dilekatkan di berbagai stasiun. Salah seorang Muslimah dari Yala itu meminta dua keponakannya (atau anaknya) untuk berbagi roti dengan saya, dan dia memberikan makanan semacam timus seraya berkata, “Dimakan, Bang. Ini enak. Dari ubi.”
Matahari sudah tinggi ketika kereta api memasuki kota Bangkok, sesampai Stasiun Hua Lamphong, saya berterima kasih atas kebaikan orang-orang dari Yala itu dan mengucapkan salam kepada mereka sebelum turun dari gerbong dan membaur dengan kerumunan orang yang juga baru turun dari kereta.



No comments:

Post a Comment