Bangsa
Hyksos menaklukkan Mesir sekitar tahun 1700 SM. Mereka berkuasa di Mesir selama
seabad. Bangsa Mesir sedemikin malu ditaklukkan oleh bangsa yang mereka anggap gerombolan
barbar lagi arogan itu sampai-sampai para penulis Mesir tidak mau mencatat
periode kekuasaan bangsa Asia yang tidak adiluhung itu.
Sudah bisa
dipastikan tidak terjadi perang, tidak ada invasi mendadak yang dilakukan kaum
barbar dari ras apa pun seperti yang dikatakan Manetho. Manetho adalah seorang
pendeta Mesir, yang menulis dalam bahasa Yunani pada abad 3 SM. Pendapat
Manetho ini dikutip oleh Josephus.
Yang sebetulnya
terjadi, orang-orang Asia yang sebagian besar atau semuanya punya nama Semit
dan datang dari kawasan yang sekarang disebut Palestina, dengan imigrasi
bertahap menyeberangi semenanjung Sinai menyusup ke Mesir dan menggunakan,
sadar atau secara naluriah, teknik-teknik subversi, menyulut atau mengipasi
perang antarkelas, perbedaan kedaerahan, memanfaatkan ketamakan atau ambisi
orang-orang Mesir yang kecewa sampai negeri itu dibakar pergolakan
revolusioner, terpecah-pecah di bawah penguasa-penguasa lokal, kebanyakan
adalah penguasa boneka asli Mesir yang harus memasok upeti kepada para
tuan-tuan Semit—contoh gamblang pertama penaklukan lewat imigrasi dan subversi.
Kita tidak
tahu berapa banyak orang Asia di sana, juga sejauh mana subversi mereka di
Mesir dilakukan dengan rencana yang terorganisir, sesuatu yang sudah jelas
mengingat parasitisme naluriah mereka. Sangat boleh jadi sebagian dari mereka
menyamar dengan nama-nama Mesir (misalnya saja, Ashley Montagu!), dan
orang-orang “Hyksos,” walaupun sangat
fanatik dengan dewa tunggal mereka, sering pura-pura masuk agama asli Mesir.
Kebijakan
pembauran begitu suksesnya hingga kita mendengar salah seorang penguasa boneka
bangsa Asia itu, dianggap sebagai ahli waris seorang raja Mesir, bergelar Sang
Hitam. Kehancuran genetis Mesir pun dimulai, walaupun Mesir, setelah pengusiran
para penguasa Hyksos (walaupun ras itu pasti masih ada di Mesir), mengalami
periode kebesaran imperial di bawah Dinasti Kedelapan Belas hingga naik
tahtanya pada tahun 1379 SM seorang fanatik religius sinting Akhenaten yang,
walaupun setidak-tidaknya dua kakeknya adalah orang Arya pirang, sebagaimana
terlihat jelas dalam gambarnya, adalah peranakan!
Tidak ada
identifikasi historis tentang orang Yahudi pada saat itu. Josephus berusaha
menghubungkan sejarah Hyksos itu dengan kisah Yusuf dalam Perjanjian Lama
(Kejadian 39-50), yang, tentu saja, cuma folklor yang ditulis jauh di kemudian
hari. Meski begitu, bukan tidak mungkin bahwa berbagai peristiwa aktual
mengilhami fiksi tentang seorang Yahudi yang masuk ke Mesir, mencapai kekuasaan
puncak dengan cara licik (konon dengan bantuan dewa sukunya), memanfaatkan
kebaikan seorang raja Mesir yang tidak diketahui namanya agar bisa mengimpor
saudara-saudaranya, mengeksploitasi kegemaran takhayul raja bodoh itu,
mengontrol seluruh negeri dan, bertindak atas nama raja yang dia kibuli,
menimbun semua makanan dan uang di Mesir (lihat Kejadian 47:14-21), lalu
membikin bangsa Goyim tolol itu kelaparan hingga mereka harus menukar ternak
dan tanah mereka dengan makanan dan akhirnya menjual diri sebagai budak.
Akhirnya Yahudi licik itu menggiring ternak curian mereka ke bagian-bagian lain negeri itu untuk
menghancurkan kesan yang barangkali tertanam dalam komunitas budaknya tentang
bekas tetangga mereka.
Josephus,
sejarawan Yahudi abad pertama Masehi tentunya mengeluhkan apa yang oleh rasnya
sekarang disebut “anti-Semitisme” (baca: perlawanan terhadap dominasi
terselubungnya), mengatakan apa yang dia pikir menimpa bangsa Goyim dan dia,
sudah barang pasti, pemalsu dan pendusta. Pernyataan-pernyataannya tentang
penaklukan Mesir oleh orang-orang Yahudi yang gagah perkasa harus
dikesampingkan.
Kebudayaan
Barat kita saat ini adalah produk Renaisans,
dinamakan begitu karena sejak awal diyakini bahwa itu adalah kelahiran kembali
zaman Klasik. Di seluruh bangsa beradab Eropa otak-otak terbaik ras kita
langsung berpaling pada zaman Antik Yunani-Romawi sebagai model dalam sastra,
seni murni, politik, filsafat, dan seni hidup. Mereka berusaha membangun
masyarakat Eropa mengikuti teladan abad-abad keemasan Yunani dan Romawi.
Mereka
[otak-otak paling cemerlang di bumi ini] hanya mengacu pada sebagian kecil
kronologi sejarah yang mereka hargai sebagai klasik dalam arti sempit kata itu:
puncak keemasan Athena di Yunani dan Roma pada akhir abad Republik dan periode
Kaisar Agustus, yaitu kurun di mana peradaban pagan mencapai puncaknya.
Menyangkut tumpukan sampah teologis yang dihimpun di Yunani maupun Latin
sebelum jatuhnya Imperium Romawi, mereka tidak peduli, mereka juga menolak
karya-karya non-Kristen selama dekadensi panjang Imperium Romawi.
Eksodus dari Mesir |
Benar, ini
memang kisah tentang Bani Israil di Mesir pada masa Nabi Yusuf yang lalu meninggalkan
Mesir berbondong-bondong di bawah pimpinan Nabi Musa yang sangat dikenal dalam tradisi
tiga agama samawi, hanya saja uraian di atas adalah versi Revilo P. Oliver, profesor
pada Jurusan Sastra Klasik Universitas Illinos sejak 1945 hingga pensiunnya
pada1977. Revilo P. Oliver adalah cendekiawan ternama yang pernah menjadi anggota
John Birch Society dan giat melakukan upaya pengungkapan holocaust. Pandangan-pandangan anti-Semit
Oliver banyak dirujuk para white
supremacists yang pada kenyataannya tidak hanya membenci Yahudi tetapi juga
orang-orang kulit berwarna dari agama apa pun. Ajaibnya, kebanyakan pengagung
supremasi kulit putih mengunggulkan nilai-nilai Kristen. Ajaib karena Isa putra
Maryam atau Yesus Kristus menurut pemeluk
Kristen adalah orang Yahudi. Tentu saja para sauvinis rasis tersebut punya
berkarung-karung dalih untuk itu, bahwa dalih-dalih mereka tidak masuk akal dan
lucu ya pandangan Oliver ini saja lucu kalau mau ditelaah sebentar.
Bahwa orang-orang
Asia yang bermigrasi ke Mesir itu orang Semit memang benar. Tetapi kelewatanlah
kalau dibilang barbar. Mereka orang Semit yang mudah menyerap kebudayaan Mesir.
Mereka mengadopsi tulisan hieroglif. Raja-raja mereka menyandang nama Mesir.
Mereka pedagang yang cakap, mengendalikan armada besar kapal dagang. Para
arkeolog menemukan benda-benda dengan nama Hyksos di seluruh Timur Dekat.
Yunani adalah
peradaban besar yang kuat pengaruhnya terhadap perjalanan kemanusiaan hingga
kini sekalipun, itu tak perlu disangkal. Memang begitu adanya. Bahwa filsafat adalah
mater scientiarum sudah menjelaskan dengan
sendirinya. Pelajar mana di dunia yang pendidikannya, suka atau tidak, adalah Barat
ini yang tak kenal nama-nama filsuf besar Yunani? Tetapi, sebetulnya, Yunani bukan
cuma diwakili oleh Sokrates dan para filsuf pendahulunya, Plato, Aristoteles.
Kata
tertua yang terekam dalam kesusastraan Eropa adalah kata Yunani kuno untuk
menyebut amuk dalam Iliad karya Homerus. Teks asli kesusastraan itu bermula
dengan kata yang berarti “amuk”, “murka” atau “amarah”. Emosi adalah hal pokok
dalam kisah Homerus tentang Perang Troya, sepuluh tahun pertikaian di mana
orang-orang Yunani mengorbankan, membunuh, menyiksa, memperkosa, membikin
cacat, dan memperbudak satu sama lain. Orang-orang yang dibakar amuk itu hidup
dalam zaman heroik, atau Homerik, di tepian imperium-imperium besar kuno zaman
itu.
Selain
pernah dihuni para ksatria Homerik yang mendasarkan hidup pada bisikan para dewa,
Yunani juga sarat dengan ritual magis dan penyembahan jimat, para peramal
setengah gila dan tukang sihir, para dukun keliling dan orang-orang penganut
ritual yang mencabik-cabik hewan dan anak-anak lalu dimakan. Menurut Chaim Potok,
“Tidak hanya mengitari peradaban Yunani, irasionalitas menembus hingga ke
jantungnya. Selama tiga ratus tahun terakhir peradaban yang menaungi manusia
Barat adalah paganisme modern, atau humanisme sekuler—sekuler karena ia
meninggalkan yang supranatural, humanis karena penekanannya pada kajian-kajian
klasik, atau humanitas, dan pengagungannya pada pengetahuan ilmiah dan
keunggulan individu. Boleh jadi inilah peradaban yang paling kreatif, paling
membebaskan, paling kaya, paling merendahkan manusia, dan paling berdarah-darah
dalam sejarah spesies kita. Di antara yang paling menderita karena eksesnya
adalah orang Yahudi. Ironisnye, orang Yahudi membantu membentuk peradaban
payung ini.”
Pertarungan
yang bermula dari kawasan Laut Tengah ini belum berakhir hingga kini dalam berbagai
bentuk. Pertarungan berebut siapa lebih unggul itu dirangkum dengan jitu oleh Chaim
Potok:
“Alpha dan
beta hanya nama huruf dalam bahasa Yunani, aleph dan bet adalah nama huruf
dalam bahasa Semit yang juga berarti sapi dan rumah.”
Rujukan:
Oliver, Revilo P., The Enemy of Our Enemies,
Liberty Bell Publications, Reedy, West Virginia, 1991.
________________, Christianity,
Religion of the West, bisa dilihat di http://www.heretical.com/miscella/oliver1.html
Potok, Chaim, Wanderings:
Chaim Potok’s History of The Jews, Fawcet Crest, New York, 1980.
Weatherford, Jack, The
History of Money, Crown Publisher, Inc. New York, 1997.
Sumber
gambar:
No comments:
Post a Comment