Pages

Wednesday, March 2, 2016

Eksodus



Bangsa Hyksos menaklukkan Mesir sekitar tahun 1700 SM. Mereka berkuasa di Mesir selama seabad. Bangsa Mesir sedemikin malu ditaklukkan oleh bangsa yang mereka anggap gerombolan barbar lagi arogan itu sampai-sampai para penulis Mesir tidak mau mencatat periode kekuasaan bangsa Asia yang tidak adiluhung itu.
Sudah bisa dipastikan tidak terjadi perang, tidak ada invasi mendadak yang dilakukan kaum barbar dari ras apa pun seperti yang dikatakan Manetho. Manetho adalah seorang pendeta Mesir, yang menulis dalam bahasa Yunani pada abad 3 SM. Pendapat Manetho ini dikutip oleh Josephus.
Yang sebetulnya terjadi, orang-orang Asia yang sebagian besar atau semuanya punya nama Semit dan datang dari kawasan yang sekarang disebut Palestina, dengan imigrasi bertahap menyeberangi semenanjung Sinai menyusup ke Mesir dan menggunakan, sadar atau secara naluriah, teknik-teknik subversi, menyulut atau mengipasi perang antarkelas, perbedaan kedaerahan, memanfaatkan ketamakan atau ambisi orang-orang Mesir yang kecewa sampai negeri itu dibakar pergolakan revolusioner, terpecah-pecah di bawah penguasa-penguasa lokal, kebanyakan adalah penguasa boneka asli Mesir yang harus memasok upeti kepada para tuan-tuan Semit—contoh gamblang pertama penaklukan lewat imigrasi dan subversi.
Kita tidak tahu berapa banyak orang Asia di sana, juga sejauh mana subversi mereka di Mesir dilakukan dengan rencana yang terorganisir, sesuatu yang sudah jelas mengingat parasitisme naluriah mereka. Sangat boleh jadi sebagian dari mereka menyamar dengan nama-nama Mesir (misalnya saja, Ashley Montagu!), dan orang-orang “Hyksos,”  walaupun sangat fanatik dengan dewa tunggal mereka, sering pura-pura masuk agama asli Mesir.
Kebijakan pembauran begitu suksesnya hingga kita mendengar salah seorang penguasa boneka bangsa Asia itu, dianggap sebagai ahli waris seorang raja Mesir, bergelar Sang Hitam. Kehancuran genetis Mesir pun dimulai, walaupun Mesir, setelah pengusiran para penguasa Hyksos (walaupun ras itu pasti masih ada di Mesir), mengalami periode kebesaran imperial di bawah Dinasti Kedelapan Belas hingga naik tahtanya pada tahun 1379 SM seorang fanatik religius sinting Akhenaten yang, walaupun setidak-tidaknya dua kakeknya adalah orang Arya pirang, sebagaimana terlihat jelas dalam gambarnya, adalah peranakan!
Tidak ada identifikasi historis tentang orang Yahudi pada saat itu. Josephus berusaha menghubungkan sejarah Hyksos itu dengan kisah Yusuf dalam Perjanjian Lama (Kejadian 39-50), yang, tentu saja, cuma folklor yang ditulis jauh di kemudian hari. Meski begitu, bukan tidak mungkin bahwa berbagai peristiwa aktual mengilhami fiksi tentang seorang Yahudi yang masuk ke Mesir, mencapai kekuasaan puncak dengan cara licik (konon dengan bantuan dewa sukunya), memanfaatkan kebaikan seorang raja Mesir yang tidak diketahui namanya agar bisa mengimpor saudara-saudaranya, mengeksploitasi kegemaran takhayul raja bodoh itu, mengontrol seluruh negeri dan, bertindak atas nama raja yang dia kibuli, menimbun semua makanan dan uang di Mesir (lihat Kejadian 47:14-21), lalu membikin bangsa Goyim tolol itu kelaparan hingga mereka harus menukar ternak dan tanah mereka dengan makanan dan akhirnya menjual diri sebagai budak. Akhirnya Yahudi licik itu menggiring ternak curian mereka  ke bagian-bagian lain negeri itu untuk menghancurkan kesan yang barangkali tertanam dalam komunitas budaknya tentang bekas tetangga mereka.
Josephus, sejarawan Yahudi abad pertama Masehi tentunya mengeluhkan apa yang oleh rasnya sekarang disebut “anti-Semitisme” (baca: perlawanan terhadap dominasi terselubungnya), mengatakan apa yang dia pikir menimpa bangsa Goyim dan dia, sudah barang pasti, pemalsu dan pendusta. Pernyataan-pernyataannya tentang penaklukan Mesir oleh orang-orang Yahudi yang gagah perkasa harus dikesampingkan.
Kebudayaan Barat kita saat ini adalah produk Renaisans, dinamakan begitu karena sejak awal diyakini bahwa itu adalah kelahiran kembali zaman Klasik. Di seluruh bangsa beradab Eropa otak-otak terbaik ras kita langsung berpaling pada zaman Antik Yunani-Romawi sebagai model dalam sastra, seni murni, politik, filsafat, dan seni hidup. Mereka berusaha membangun masyarakat Eropa mengikuti teladan abad-abad keemasan Yunani dan Romawi.
Mereka [otak-otak paling cemerlang di bumi ini] hanya mengacu pada sebagian kecil kronologi sejarah yang mereka hargai sebagai klasik dalam arti sempit kata itu: puncak keemasan Athena di Yunani dan Roma pada akhir abad Republik dan periode Kaisar Agustus, yaitu kurun di mana peradaban pagan mencapai puncaknya. Menyangkut tumpukan sampah teologis yang dihimpun di Yunani maupun Latin sebelum jatuhnya Imperium Romawi, mereka tidak peduli, mereka juga menolak karya-karya non-Kristen selama dekadensi panjang Imperium Romawi.
eksodus menurut pandangan pendukung supremasi kulit putih
Eksodus dari Mesir

Benar, ini memang kisah tentang Bani Israil di Mesir pada masa Nabi Yusuf yang lalu meninggalkan Mesir berbondong-bondong di bawah pimpinan Nabi Musa yang sangat dikenal dalam tradisi tiga agama samawi, hanya saja uraian di atas adalah versi Revilo P. Oliver, profesor pada Jurusan Sastra Klasik Universitas Illinos sejak 1945 hingga pensiunnya pada1977. Revilo P. Oliver adalah cendekiawan ternama yang pernah menjadi anggota John Birch Society dan giat melakukan upaya pengungkapan holocaust. Pandangan-pandangan anti-Semit Oliver banyak dirujuk para white supremacists yang pada kenyataannya tidak hanya membenci Yahudi tetapi juga orang-orang kulit berwarna dari agama apa pun. Ajaibnya, kebanyakan pengagung supremasi kulit putih mengunggulkan nilai-nilai Kristen. Ajaib karena Isa putra Maryam atau Yesus Kristus menurut pemeluk Kristen adalah orang Yahudi. Tentu saja para sauvinis rasis tersebut punya berkarung-karung dalih untuk itu, bahwa dalih-dalih mereka tidak masuk akal dan lucu ya pandangan Oliver ini saja lucu kalau mau ditelaah sebentar.
Bahwa orang-orang Asia yang bermigrasi ke Mesir itu orang Semit memang benar. Tetapi kelewatanlah kalau dibilang barbar. Mereka orang Semit yang mudah menyerap kebudayaan Mesir. Mereka mengadopsi tulisan hieroglif. Raja-raja mereka menyandang nama Mesir. Mereka pedagang yang cakap, mengendalikan armada besar kapal dagang. Para arkeolog menemukan benda-benda dengan nama Hyksos di seluruh Timur Dekat.
Yunani adalah peradaban besar yang kuat pengaruhnya terhadap perjalanan kemanusiaan hingga kini sekalipun, itu tak perlu disangkal. Memang begitu adanya. Bahwa filsafat adalah mater scientiarum sudah menjelaskan dengan sendirinya. Pelajar mana di dunia yang pendidikannya, suka atau tidak, adalah Barat ini yang tak kenal nama-nama filsuf besar Yunani? Tetapi, sebetulnya, Yunani bukan cuma diwakili oleh Sokrates dan para filsuf pendahulunya, Plato, Aristoteles.
Kata tertua yang terekam dalam kesusastraan Eropa adalah kata Yunani kuno untuk menyebut amuk dalam Iliad karya Homerus. Teks asli kesusastraan itu bermula dengan kata yang berarti “amuk”, “murka” atau “amarah”. Emosi adalah hal pokok dalam kisah Homerus tentang Perang Troya, sepuluh tahun pertikaian di mana orang-orang Yunani mengorbankan, membunuh, menyiksa, memperkosa, membikin cacat, dan memperbudak satu sama lain. Orang-orang yang dibakar amuk itu hidup dalam zaman heroik, atau Homerik, di tepian imperium-imperium besar kuno zaman itu.
Selain pernah dihuni para ksatria Homerik yang mendasarkan hidup pada bisikan para dewa, Yunani juga sarat dengan ritual magis dan penyembahan jimat, para peramal setengah gila dan tukang sihir, para dukun keliling dan orang-orang penganut ritual yang mencabik-cabik hewan dan anak-anak lalu dimakan. Menurut Chaim Potok, “Tidak hanya mengitari peradaban Yunani, irasionalitas menembus hingga ke jantungnya. Selama tiga ratus tahun terakhir peradaban yang menaungi manusia Barat adalah paganisme modern, atau humanisme sekuler—sekuler karena ia meninggalkan yang supranatural, humanis karena penekanannya pada kajian-kajian klasik, atau humanitas, dan pengagungannya pada pengetahuan ilmiah dan keunggulan individu. Boleh jadi inilah peradaban yang paling kreatif, paling membebaskan, paling kaya, paling merendahkan manusia, dan paling berdarah-darah dalam sejarah spesies kita. Di antara yang paling menderita karena eksesnya adalah orang Yahudi. Ironisnye, orang Yahudi membantu membentuk peradaban payung ini.”
Pertarungan yang bermula dari kawasan Laut Tengah ini belum berakhir hingga kini dalam berbagai bentuk. Pertarungan berebut siapa lebih unggul itu dirangkum dengan jitu oleh Chaim Potok:
“Alpha dan beta hanya nama huruf dalam bahasa Yunani, aleph dan bet adalah nama huruf dalam bahasa Semit yang juga berarti sapi dan rumah.”


Rujukan:
Oliver, Revilo P., The Enemy of Our Enemies, Liberty Bell Publications, Reedy, West Virginia, 1991.
________________, Christianity, Religion of the West, bisa dilihat di http://www.heretical.com/miscella/oliver1.html
Potok, Chaim, Wanderings: Chaim Potok’s History of The Jews, Fawcet Crest, New York, 1980.
Weatherford, Jack, The History of Money, Crown Publisher, Inc. New York, 1997.

Sumber gambar:

No comments:

Post a Comment