Kemajuan teknologi tidak selamanya berbanding lurus
dengan laju perkembangan nalar. Dengan adanya media sosial, Twitter misalnya,
orang bisa mendapatkan informasi penting dalam sekejap, tetapi juga limpahan
kedunguan setiap saat. Salah satunya, dari berkian-kian absurditas, adalah ujaran:
Jangan menilai orang dari TL-nya. Versi yang lebih mengesalkan: Jgn nge-judge
orang dari TL-nya, loe ga ngerti perjalanan hidup gw.
Kecuali untuk pengguna Twitter (atau Facebook, meski tingkat
ketidakkenalan sesama penggunanya tidak setinggi Twitter) yang sudah kenal
sebelumnya, dari mana orang bisa menilai selain dari apa yang diocehkan di time line? Kalau tidak mau dinilai dari
ocehannya, mengapa tidak diam saja? Bukannya ada anjuran bicaralah yang baik
atau diam yang bisa dimaknai ngetwitlah yang baik atau diam? Gunakan Twitter
untuk membaca berita apa saja atau membuang-buang waktu dengan stalking sana sini. Atau lebih ekstrem
lagi, buat apa bikin akun twitter? Orang juga tidak tahu operator suatu akun
itu laki-laki atau perempuan, tinggal di Jakarta atau Siberia, tua renta atau
muda jelita, anak pungut atau bukan, bertanduk biru atau tidak, nah dari mana
menilai kalau bukan dari apa yang ditumpahkan di TL? Ya tapi wajar jugalah, pinter
itu dicapai dengan belajar, bukan belajar bikin banyak akun Twitter lalu ada
yang ditutup ada juga yang ditelantarkan karena memang pahpoh. Lolak-lolok.
Tidak diketahui yang posting ini sakit sirosis atau sakit jiwa |
Kalau mengikuti ratapan kecengengan itu, orang mestinya
jangan menilai Elton John dari lagu-lagunya saja, tetapi juga dari perilakunya,
termasuk perilaku seksualnya dong. Pasti banyak yang menyukai Nikita atau
Sacrifice akan balik kanan bubar jalan kalau ujaran kecentilan itu dimodifikasi
tanpa menghilangkan substansi menjadi “Jangan menilai orang dari lagunya”.
Begitu pula terhadap Freddie Mercury.
Ungkapan “Jangan menilai orang dari TL-nya” ini tampaknya
meniru secara serampangan pepatah “Don’t
judge a book by its cover” seraya meluputkan konteksnya. Pepatah ini benar
untuk niat membaca. Calon pembaca yang hanya menilai buku dari sampulnya bisa
jadi melewatkan bacaan bagus seumpama intan berlian. Untuk penerbit, meninggal
dunia sajalah kalau mengagungkan jargon “Don’t
judge a book by its cover”. Apalagi untuk penjualan buku online yang murni
mengandalkan kekuatan visual sampul untuk memikat pembeli, kecuali untuk buku
yang sangat terkenal yang mudah didapat di toko buku dan karenanya buat apa
dijual secara indie. Bagi mereka yang
bergerak di bisnis buku online (sebab daring atau dalam jaringan itu sungguh
jelek lagi pula singkatan yang sama wagunya dengan luring atau luar jaringan
sehingga mestinya dibiarkan saja seperti starter, tape recorder, rice cooker,
magic jar, offline, dan online) agaknya ujaran Stanley Clarke inilah yang mesti
diamini: “Never judge a cover by its book.”
No comments:
Post a Comment