Pages

Monday, March 7, 2016

Never judge a cover by its book



Kemajuan teknologi tidak selamanya berbanding lurus dengan laju perkembangan nalar. Dengan adanya media sosial, Twitter misalnya, orang bisa mendapatkan informasi penting dalam sekejap, tetapi juga limpahan kedunguan setiap saat. Salah satunya, dari berkian-kian absurditas, adalah ujaran: Jangan menilai orang dari TL-nya. Versi yang lebih mengesalkan: Jgn nge-judge orang dari TL-nya, loe ga ngerti perjalanan hidup gw.
Kecuali untuk pengguna Twitter (atau Facebook, meski tingkat ketidakkenalan sesama penggunanya tidak setinggi Twitter) yang sudah kenal sebelumnya, dari mana orang bisa menilai selain dari apa yang diocehkan di time line? Kalau tidak mau dinilai dari ocehannya, mengapa tidak diam saja? Bukannya ada anjuran bicaralah yang baik atau diam yang bisa dimaknai ngetwitlah yang baik atau diam? Gunakan Twitter untuk membaca berita apa saja atau membuang-buang waktu dengan stalking sana sini. Atau lebih ekstrem lagi, buat apa bikin akun twitter? Orang juga tidak tahu operator suatu akun itu laki-laki atau perempuan, tinggal di Jakarta atau Siberia, tua renta atau muda jelita, anak pungut atau bukan, bertanduk biru atau tidak, nah dari mana menilai kalau bukan dari apa yang ditumpahkan di TL? Ya tapi wajar jugalah, pinter itu dicapai dengan belajar, bukan belajar bikin banyak akun Twitter lalu ada yang ditutup ada juga yang ditelantarkan karena memang pahpoh. Lolak-lolok.
Never judge a cover by its book
Tidak diketahui yang posting ini sakit sirosis atau sakit jiwa

Kalau mengikuti ratapan kecengengan itu, orang mestinya jangan menilai Elton John dari lagu-lagunya saja, tetapi juga dari perilakunya, termasuk perilaku seksualnya dong. Pasti banyak yang menyukai Nikita atau Sacrifice akan balik kanan bubar jalan kalau ujaran kecentilan itu dimodifikasi tanpa menghilangkan substansi menjadi “Jangan menilai orang dari lagunya”. Begitu pula terhadap Freddie Mercury.
Ungkapan “Jangan menilai orang dari TL-nya” ini tampaknya meniru secara serampangan pepatah “Don’t judge a book by its cover” seraya meluputkan konteksnya. Pepatah ini benar untuk niat membaca. Calon pembaca yang hanya menilai buku dari sampulnya bisa jadi melewatkan bacaan bagus seumpama intan berlian. Untuk penerbit, meninggal dunia sajalah kalau mengagungkan jargon “Don’t judge a book by its cover”. Apalagi untuk penjualan buku online yang murni mengandalkan kekuatan visual sampul untuk memikat pembeli, kecuali untuk buku yang sangat terkenal yang mudah didapat di toko buku dan karenanya buat apa dijual secara indie. Bagi mereka yang bergerak di bisnis buku online (sebab daring atau dalam jaringan itu sungguh jelek lagi pula singkatan yang sama wagunya dengan luring atau luar jaringan sehingga mestinya dibiarkan saja seperti starter, tape recorder, rice cooker, magic jar, offline, dan online) agaknya ujaran Stanley Clarke inilah yang mesti diamini: “Never judge a cover by its book.”

No comments:

Post a Comment