Kematian Hitam |
Akulah pengembara,
jiwa resah yang dikutuk berjalan dari tempat ke tempat dan dari tubuh ke tubuh tak
henti-henti. Jiwaku bisa terbelah sedemikian simetris hingga Kematian sekalipun
tak mampu membantunya melewati garis antara hidup dan mati.
Dewa-dewa
dalam kebijaksanaan ironis mereka menyuratkanku menanggung banyak nista.
Di abad
ke-20 saja jiwa lelahku berdiam dalam diri gundik ogah-ogahan yang sedang
digempur hasrat cinta seorang pembual Flemish paruh baya.
Dan
jiwa yang sama ini terkurung dalam tubuh disiksa seorang pilot muda di sebuah
kamp tawanan perang.
Aku pun
pernah dilontarkan dari tubuh sekarat pria terhormat penemu meditasi ampuh Zen
ke tubuh pemuda berjerawat yang reputasi menjulangnya adalah pelempar kue panekuk
tertinggi di kedai setempat.
Di
masa-masa sebelumnya jiwaku mendiami berbagai kepribadian seorang gladiator
Romawi, seorang pigmi dan penyanyi keliling Abad Pertengahan. Aku terperangkap
dalam diri perempuan buruk rupa yang duduk merajut di kaki guillotine sewaktu
dia menonton pemenggalan kepala artistokrat Prancis. Aku menjani kehidupan
mengapteni sebuah kapal perompak, di mana aku memerintahkan awak kapal jorok
yang membangkang meniti papan mencebur ke laut atau diseret di bawah lunas
kapal.
Beban gaya
hidup beraneka macam itu menciutkan nyaliku. Kalau ada pelajaran yang harus
dipetik, rasanya tak ada yang bisa kupetik. Karena itulah, saat aku terbaring
di ranjang kematian lagi ini, kembali aku memohon kepada Maut Hitam agar
memutus siklus ini.
Dari: Black Death by Brenda Ross
Sumber gambar:
http://science.nationalgeographic.com/science/health-and-human-body/human-diseases/plague-article/
No comments:
Post a Comment