Pages

Thursday, March 24, 2016

A Hard Way to Make Money



Sekitar sembilan tahun silam tercapai kesepakatan lisan antara saya dan sebuah penerbit bahwa saya akan menulis buku tentang bagaimana menjadi penerjemah yang baik. Dalam benak saya buku itu tidak akan seberat karya Rochayah Mahali, yang sampai sekarang pun hanya saya baca sekilas karena menurut saya tak banyak gunanya bagi orang yang berprofesi sebagai penerjemah, meski tentunya sangat berguna bagi mahasiswa jurusan penerjemahan. Buku itu kaya akan teori penerjemahan, tetapi tak ketulungan miskinnya dalam hal-hal praktis penerjemahan seperti cara mendapatkan order, bagaimana mengatasi kejemuan menerjemahkan buku 500 halaman atau tips urban survival selama menerjemahkan buku setebal itu karena pada umumnya penerbit buta huruf soal pembayaran di muka. Perlu digarisbawahi tebal-tebal kata “pada umumnya”, ada juga penerbit yang mengerti pengetahuan dasar sederhana: penerjemah itu manusia seperti umumnya yang jika berbelanja harus membayar dengan uang. Penerbit Buku Kompas patut dipuji dalam hal pengetahuan sederhana namun amat berguna, bagi penerjemah, ini.
Langkah pertama yang saya lakukan untuk bakal buku hebat itu adalah, apa lagi kalau bukan, Googling mencari bahan-bahan praktis tentang penerjemah dan penerjemahan. Dan paradoks modernitas sudah menunggu dengan setia: bahan melimpah ruah, menyeleksinya yang bikin kursus anger management layak dipertimbangkan. Terlebih ketika kata kunci pencarian berbahasa Indonesia. Mengerikan belaka. Banyak situs tentang tips menerjemahkan yang asal upload, comot sana comot sini tanpa sumber, sekalinya ada tulisan cukup bagus tampilan web-nya ngejreng hingga diperlukan perjuangan dan doa bahkan untuk sekadar membacanya. Dibilang mental inlander ya mau bagaimana lagi? Nyatanya ketika kata kunci pencarian diubah bahasa Inggris yang saya temukan di belantara Google adalah harta karun. Mulai dari yang sangat serius sekaliber wawancara Bu Edith Grossman sampai yang sangat praktis yang mudah dijumpai dalam Jurnal Acurapid.
Banyak tips praktis yang saya simpan di hard disk komputer seperti: bisa dua bahasa saja tidak lantas membuat orang menjadi penerjemah persis semua orang yang bisa menulis belum tentu bisa menjadi penulis, baca naskah dalam bahasa asli lalu lakukan riset kecil-kecilan di Internet tentang bahan yang hendak diterjemahkan kalau bisa kenali tokoh-tokohnya juga kemudian baru penerjemahan dimulai dan jika sudah istirahat sehari dua lalu diperiksa ulang dengan menjajarkan naskah asal dengan hasil dalam bahasa sasaran agar tak ada satu kalimat pun yang luput diterjemahkan lalu berjalan-jalanlah atau mabuk-mabukan kalau itu tidak haram menurut keyakinan Anda demi melupakan pekerjaan (konon Margareth Thatcher selalu minum wiski sebelum mengambil keputusan penting) untuk kemudian membaca terakhir hasil terjemahan agar luwes dalam bahasa sasaran sedemikian rupa hingga tak ada kesan “Ah, ini terjemahan ya!” dan kalau tak sanggup menempuh prosedur demi hasil terjemahan cemerlang ini ya jangan pernah menerima order ketika waktu adalah barang langka kendati sekali bayaran bisa untuk ongkos perjalanan naik kereta api dari Saigon ke St. Petersburg lalu pulang via Turki singgah ke Kashmir dan Bangladesh. Sayangnya bahan-bahan itu lenyap bersama rusaknya, atau dijualnya, komputer saya (saya mudah lupa untuk hal-hal menyedihkan, syukurlah haha). Maka saya tidak bisa menyebutkan siapa nama penulis tips hebat itu dan dari situs mana saya baca. Bisa sih Googling, tapi saya sudah tidak berselera lagi melanjutkan rencana menulis buku bagaimana menjadi penerjemah yang oke. Meski bukan ini benar alasan keengganan saya.
Adalah artikel berjudul “A Hard Way to Make Money” yang merupakan pemicu kemalasan saya menulis buku tentang penerjemah dan penerjemahan. Tulisan itu berisi tentang kisah seorang perempuan penerjemah Amerika yang menceritakan bahwa di Amerika Serikat sekalipun penerjemahan bukan profesi yang mengundang hujan uang. Kendati demikian ibu itu terus menggeluti penerjemahan hingga usianya yang tidak lagi muda, semata-mata karena cinta yang tak terbeli uang. Cinta kepada penerjemahan. Keahlian alih bahasa itu sudah mengantarnya menyelami budaya negara-negara Eropa Tengah yang menjadi asal bahasa yang dia terjemahkan. Dia menetap lama di Serbia, bergaul dengan ibu-ibu Albania yang sekadar untuk foto pun meminta izin suami mereka. Lalu ke Rusia, lalu ke negeri-negeri lain untuk mempelajari bahasa mereka langsung dari penuturnya. Sudah begitu, tetap saja dia bilang itu “A Hard Way to Make Money”. Lha bagaimana dengan para penerjemah di negeri kita? Saya tak punya penjelasan soal ini kecuali: tak banyak yang bertahan menjadi penerjemah. Penerjemahan sering menjadi semacam gubuk berteduh ketika orang (yang mengerti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sekadar cukup untuk bersosialisasi) tidak punya pilihan pekerjaan lain. Mengenaskan, bukan? Maka agak berlebihan juga kalau orang mengutuki kualitas terjemahan kita yang memancing derai air mata.
Saya pernah begitu geram ketika membaca terjemahan Mein Kampf yang baru dua halaman saya baca sudah memaksa saya menahan diri agar tidak membanting buku tersebut. Jelek terjemahannya? Mending jelek, itu nggak bisa dibaca sama sekali! Mungkin penerjemahnya sekarang sudah menjadi manajer di sebuah bank atau profesi yang lebih bergelimang uang. Semoga begitu. Sebab ini memang profesi yang aduhai beratnya kalau diseriusi. Bayangkan, tahun 2008 masih ada penerbit amat terkenal di Yogya yang tega membayar penerjemah Rp8.000 per halaman. Sekarang pun masih ada yang sampai hati membayar penerjemah di bawah Rp.10.000. Iya, betul, di tahun 2016 ini! Dan memang ini yang membuat saya menulis omong kosong ini. Yang diterjemahkan soal semesta raya dan seisinya tetapi bayarannya tak cukup untuk isi rekening. Mengapa tidak ditolak? Nah, itu persoalannya. Penerbit ini cukup lihai menghubungi saya melalui sepupu yang dia meminta saya berjalan kaki Yogyakarta – Takeran pun pasti saya iakan.  
Tetapi harus diakui bahwa yang mendatangi saya tak melulu penerbit yang menghendaki layanan bintang lima harga kaki lima. Ada juga yang menawarkan bayaran Rp75.000 per halaman, bahkan Rp100.000. Biasanya yang berbasis di ibu kota. Untuk penerbit Yogyakarta, banyak juga yang cukup memanusiakan penerjemah dengan ongkos minimal Rp13.500. Tidak tinggi, tetapi wajar. Wajar karena penerbit di Jakarta pun kisaran bayarannya adalah Rp17500 sampai Rp25000. Kalau memang penerjemah adalah panggilan jiwa Anda, ya penuhi saja panggilan itu. Abaikan kisah sedih yang saya sampaikan di atas. Siapkan mental untuk mengamini dengan takzim petuah Bu Edith Grossman ini: “Kalau Anda berniat menjadi penerjemah (apalagi untuk bidang sastra), lakukan kaul miskin terlebih dahulu.”
cara menjadi penerjemah yang lucu

Jadi, solusi yang masuk akal adalah: jangan menerjemahkan untuk penerbit, apalagi sastra! Terjemahkan saja pesanan perusahaan-perusahaan swasta besar atau perusahaan asing. Kalau soalnya adalah uang.

No comments:

Post a Comment