Sekitar sembilan tahun silam tercapai kesepakatan lisan
antara saya dan sebuah penerbit bahwa saya akan menulis buku tentang bagaimana menjadi
penerjemah yang baik. Dalam benak saya buku itu tidak akan seberat karya
Rochayah Mahali, yang sampai sekarang pun hanya saya baca sekilas karena menurut
saya tak banyak gunanya bagi orang yang berprofesi sebagai penerjemah, meski
tentunya sangat berguna bagi mahasiswa jurusan penerjemahan. Buku itu kaya akan
teori penerjemahan, tetapi tak ketulungan miskinnya dalam hal-hal praktis
penerjemahan seperti cara mendapatkan order, bagaimana mengatasi kejemuan
menerjemahkan buku 500 halaman atau tips urban
survival selama menerjemahkan buku setebal itu karena pada umumnya penerbit
buta huruf soal pembayaran di muka. Perlu digarisbawahi tebal-tebal kata “pada
umumnya”, ada juga penerbit yang mengerti pengetahuan dasar sederhana:
penerjemah itu manusia seperti umumnya yang jika berbelanja harus membayar dengan
uang. Penerbit Buku Kompas patut dipuji dalam hal pengetahuan sederhana namun
amat berguna, bagi penerjemah, ini.
Langkah pertama yang saya lakukan untuk bakal buku hebat
itu adalah, apa lagi kalau bukan, Googling
mencari bahan-bahan praktis tentang penerjemah dan penerjemahan. Dan paradoks
modernitas sudah menunggu dengan setia: bahan melimpah ruah, menyeleksinya yang
bikin kursus anger management layak
dipertimbangkan. Terlebih ketika kata kunci pencarian berbahasa Indonesia.
Mengerikan belaka. Banyak situs tentang tips menerjemahkan yang asal upload, comot sana comot sini tanpa
sumber, sekalinya ada tulisan cukup bagus tampilan web-nya ngejreng hingga diperlukan perjuangan dan doa bahkan untuk sekadar
membacanya. Dibilang mental inlander ya mau bagaimana lagi? Nyatanya ketika
kata kunci pencarian diubah bahasa Inggris yang saya temukan di belantara
Google adalah harta karun. Mulai dari yang sangat serius sekaliber wawancara Bu
Edith Grossman sampai yang sangat praktis yang mudah dijumpai dalam Jurnal
Acurapid.
Banyak tips praktis yang saya simpan di hard disk
komputer seperti: bisa dua bahasa saja tidak lantas membuat orang menjadi penerjemah
persis semua orang yang bisa menulis belum tentu bisa menjadi penulis, baca
naskah dalam bahasa asli lalu lakukan riset kecil-kecilan di Internet tentang bahan
yang hendak diterjemahkan kalau bisa kenali tokoh-tokohnya juga kemudian baru
penerjemahan dimulai dan jika sudah istirahat sehari dua lalu diperiksa ulang dengan
menjajarkan naskah asal dengan hasil dalam bahasa sasaran agar tak ada satu
kalimat pun yang luput diterjemahkan lalu berjalan-jalanlah atau mabuk-mabukan
kalau itu tidak haram menurut keyakinan Anda demi melupakan pekerjaan (konon Margareth
Thatcher selalu minum wiski sebelum mengambil keputusan penting) untuk kemudian
membaca terakhir hasil terjemahan agar luwes dalam bahasa sasaran sedemikian rupa
hingga tak ada kesan “Ah, ini terjemahan ya!” dan kalau tak sanggup menempuh
prosedur demi hasil terjemahan cemerlang ini ya jangan pernah menerima order
ketika waktu adalah barang langka kendati sekali bayaran bisa untuk ongkos
perjalanan naik kereta api dari Saigon ke St. Petersburg lalu pulang via Turki
singgah ke Kashmir dan Bangladesh. Sayangnya bahan-bahan itu lenyap bersama
rusaknya, atau dijualnya, komputer saya (saya mudah lupa untuk hal-hal
menyedihkan, syukurlah haha). Maka saya tidak bisa menyebutkan siapa nama
penulis tips hebat itu dan dari situs mana saya baca. Bisa sih Googling, tapi saya sudah tidak berselera
lagi melanjutkan rencana menulis buku bagaimana menjadi penerjemah yang oke.
Meski bukan ini benar alasan keengganan saya.
Adalah artikel berjudul “A Hard Way to Make Money” yang merupakan
pemicu kemalasan saya menulis buku tentang penerjemah dan penerjemahan. Tulisan
itu berisi tentang kisah seorang perempuan penerjemah Amerika yang menceritakan
bahwa di Amerika Serikat sekalipun penerjemahan bukan profesi yang mengundang
hujan uang. Kendati demikian ibu itu terus menggeluti penerjemahan hingga
usianya yang tidak lagi muda, semata-mata karena cinta yang tak terbeli uang.
Cinta kepada penerjemahan. Keahlian alih bahasa itu sudah mengantarnya
menyelami budaya negara-negara Eropa Tengah yang menjadi asal bahasa yang dia
terjemahkan. Dia menetap lama di Serbia, bergaul dengan ibu-ibu Albania yang sekadar
untuk foto pun meminta izin suami mereka. Lalu ke Rusia, lalu ke negeri-negeri
lain untuk mempelajari bahasa mereka langsung dari penuturnya. Sudah begitu,
tetap saja dia bilang itu “A Hard Way to Make Money”. Lha bagaimana dengan para
penerjemah di negeri kita? Saya tak punya penjelasan soal ini kecuali: tak banyak
yang bertahan menjadi penerjemah. Penerjemahan sering menjadi semacam gubuk
berteduh ketika orang (yang mengerti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sekadar
cukup untuk bersosialisasi) tidak punya pilihan pekerjaan lain. Mengenaskan, bukan?
Maka agak berlebihan juga kalau orang mengutuki kualitas terjemahan kita yang memancing
derai air mata.
Saya pernah begitu geram ketika membaca terjemahan Mein
Kampf yang baru dua halaman saya baca sudah memaksa saya menahan diri agar tidak
membanting buku tersebut. Jelek terjemahannya? Mending jelek, itu nggak bisa
dibaca sama sekali! Mungkin penerjemahnya sekarang sudah menjadi manajer di sebuah
bank atau profesi yang lebih bergelimang uang. Semoga begitu. Sebab ini memang profesi
yang aduhai beratnya kalau diseriusi. Bayangkan, tahun 2008 masih ada penerbit amat
terkenal di Yogya yang tega membayar penerjemah Rp8.000 per halaman. Sekarang pun
masih ada yang sampai hati membayar penerjemah di bawah Rp.10.000. Iya, betul,
di tahun 2016 ini! Dan memang ini yang membuat saya menulis omong kosong ini. Yang
diterjemahkan soal semesta raya dan seisinya tetapi bayarannya tak cukup untuk
isi rekening. Mengapa tidak ditolak? Nah, itu persoalannya. Penerbit ini cukup
lihai menghubungi saya melalui sepupu yang dia meminta saya berjalan kaki Yogyakarta
– Takeran pun pasti saya iakan.
Tetapi harus diakui bahwa yang mendatangi saya tak melulu
penerbit yang menghendaki layanan bintang lima harga kaki lima. Ada juga yang menawarkan
bayaran Rp75.000 per halaman, bahkan Rp100.000. Biasanya yang berbasis di ibu
kota. Untuk penerbit Yogyakarta, banyak juga yang cukup memanusiakan penerjemah
dengan ongkos minimal Rp13.500. Tidak tinggi, tetapi wajar. Wajar karena penerbit
di Jakarta pun kisaran bayarannya adalah Rp17500 sampai Rp25000. Kalau memang penerjemah
adalah panggilan jiwa Anda, ya penuhi saja panggilan itu. Abaikan kisah sedih yang
saya sampaikan di atas. Siapkan mental untuk mengamini dengan takzim petuah Bu
Edith Grossman ini: “Kalau Anda berniat menjadi penerjemah (apalagi untuk bidang
sastra), lakukan kaul miskin terlebih dahulu.”
Jadi, solusi yang masuk akal adalah: jangan menerjemahkan
untuk penerbit, apalagi sastra! Terjemahkan saja pesanan perusahaan-perusahaan swasta
besar atau perusahaan asing. Kalau soalnya adalah uang.
No comments:
Post a Comment