Pada tahun 2007 saya pernah membaca sekilas tulisan di
Kompas yang mengeluhkan betapa sinetron-sinetron kita tak ubahnya sandiwara
radio. Bisa dimengerti keluhan demikian. Beberapa kali saya melihat adegan sinetron
di mana orang membaca surat perlu dibantu dengan narasi isi surat, atau orang membatin
yang dinarasikan panjang lebar. Rupanya ekspresi wajah yang mestinya bisa
disampaikan berkat teknologi kamera adalah sesuatu yang berat dipelajari,
apalagi dipraktekkan. Sama persis dengan sandiwara radio tentu tidak, karena dalam
sandiwara radio ada narator (pembawa cerita) yang mendeskripsikan, misalnya, “Senja
itu kabut mulai menyelimuti kaki Gunung Merapi, tampak beberapa orang berkereta
memasuki kabut”, dan lain sebagainya. Meski sepakat dengan keluhan yang ditulis
di Kompas itu, apa boleh buat yang dikritik adalah sinetron berjudul Mawar dengan
bintang Chelsea Olivia. Jadi ya biarin saja haha.
Chelsea Olivia |
Sore tadi saat tiduran di kamar saya mendengar dialog dalam
film Paddle Pop Magilika yang mengingatkan pada artikel kritikan terhadap sinetron
rasa sandiwara radio itu. Lebih perah dari sinetron rasa sandiwara radio,
Magilika ini dialognya terlalu ramai. Bahkan ketika sedang adegan kejar-kejaran
pun karakter-karakternya tetap ngoceh tak perlu. Ilustrasi musik nyaris
mubadzir. Saya memang tidak suka dengan film Paddle Pop karena banyak hal, yang
paling mencolok adalah penjiplakan pola Lion King dalam cerita tentang kelahiran
Paddle Pop dan pamannya yang jahat dan ingin merebut kekuasaan darinya. Juga
pulau-pulau apung yang persis seperti di film Avatar. Yang jelas, hanya dengan mendengar
dialognya saya tahu jalan cerita film itu.
Tak tahan, saya keluar kamar dan menyuruh anak-anak saya
mengganti film itu dengan Cars 2.
Bedanya sejauh timur dan barat! Kendati karakter Mater sang mobil derek
bawelnya minta ampun, tetapi kadarnya pas. Tidak satu adegan dipenuhi racauan
Mater, ada jeda, ada senyap. Dan tak lengkap pemahaman atas cerita tanpa
melihat filmnya. Apalagi dibandingkan dengan Inside Out, Paddle Pop sungguh bukan tandingan. Tapi ya, anak-anak
saya senang melihat Paddle Pop. Paling banter yang bisa saya lakukan adalah menyuruh
mereka mengganti dengan film lain kalau saya ada di dekat mereka.
Lighting McQueen dan Mater |
Kalau sudah begitu saya pasti ingat obrolan zaman kuliah
dulu betapa seriusnya Walt Disney bikin film. Kabarnya sekadar untuk menghasilkan
gambar dansa Belle dan Beast yang sempurna animatornya sampai kursus menari
waltz. Begitu pula animator Lion King yang menghabiskan waktu berhari-hari
mengamati tingkah polah singa-singa di alam bebas untuk menghasilan animasi
memikat Mufasa, Sarabi, Simba, Nala dan sekalian para singa lainnya. Akhirnya soal biaya memang. Persis seperti peneliti asing, ambil
sebagai contoh Denys Lombard, yang menghabiskan waktu puluhan tahun meneliti berbagai
objek di negeri kita. Duit juga pangkalnya. Dari mana Lombard punya tenaga,
pikiran, dan waktu empat puluh tahun sekadar untuk menghasilkan buku Nusa Jawa: Silang Budaya?
Suatu ketika saya menyampaikan keluhan tentang minimnya
fasilitas bagi peneliti mandiri di negeri kita ini kepada Sandra Niesen sang
peneliti ulos Batak. Jawabnya, “Tidak sepenuhnya ketersediaan dana yang jadi
soal, ada tekad atau tidak, itu soalnya.” Sandra peneliti hebat, rela keluar
dari kenyamanan dunia akademis demi memuaskan panggilan jiwa meneliti ulos
Batak dengan biaya sendiri. Tetapi, saya tak bisa sepenuhnya menerima pendapat dia.
Dia tinggal di negeri makmur yang menghargai penulis itu sudah keuntungan
tersendiri. Akan sulit bagi orang kita bepergian bolak-balik Kanada, Belanda
dan Indonesia seperti Sandra. Walaupun soal kemauan itu Sandra benar adanya.
Ada kisah seorang mantan anggota Angkatan Laut Australia yang
terobsesi meneliti dasar Laut Jawa sebagai akar kebudayaan kuno Indonesia.
Selain mengumpulkan berbagai folklor tentang manusia yang berasal dari ikan, sehingga
sebagian masyarakat di Kepulauan Riau ada yang tidak mau makan ikan, si eks
tentara menjual kebun anggurnya di Australia untuk membeli kapal penelitian yang
beroperasi di Laut Jawa. Hasilnya bagaimana saya tidak tahu, yang menarik bagi
saya adalah totalitas dia mencurahkan segalanya demi obsesinya, yang menggelikan
bagi banyak orang.
Kembali ke kita, kita memang terbiasa dengan jargon Jer Basuki Mawa Bea tetapi lebih terbiasa
lagi dengan ujaran “Kualitas Bintang Lima Harga Kaki Lima”` Ya mana ada?
Sumber gambar:
Chelsea Olivia
Cars 2
No comments:
Post a Comment