Pages

Tuesday, May 10, 2016

Teman



Mungkin karena selepas SD saya sudah sekolah jauh dari rumah terpisah dari orang tua, saudara, dan keluarga besar, pada masa kuliah saya meyakini anggapan bahwa sesungguhnya temanlah saudara itu. Keyakinan yang dilahirkan oleh berbagai pengalaman bahwa di kala susah, saat memerlukan sesuatu, ketika menghadapi masalah, teman-teman yang menolong, bukan anak-anak pakde atau paklik saya. Dan ujaran “teman itu saudara” begitu beraroma pemberontakan, begitu seksi, dan gagah perkasa. Agaknya, waktu itu, saya lupa yang transfer uang per bulan ya orang tua saya. Bukan teman.
Mungkin karena merasa penghargaan saya kepada teman sudah mendekati kultus dan sikap saya terhadap orang-orang yang punya hubungan darah dengan saya dirasa mencemaskan, ibu saya sering berkata, “Kanca kuwi rak mbiyen” ketika bercerita tentang teman-teman kecilnya yang sudah nyaris mbah-mbah waktu itu. Yah, namanya juga ibu, apa pun perkataannya tentu tak saya bantah, meski dalam hati saya tertawakan habis-habisan.
Masa kuliah saya lebih menyerupai aktivitas pertemanan dibanding belajar yang menjadi tujuan utama masuk perguruan tingggi. Dan saya mengagungkan perkataan Rabindranath Tagore, “Sekolah itu tak ada gunanya, selain menambah teman,” atau yang semacam itulah. Lama setelah lulus saya menikah. Komentar istri saya tentang teman, “Sedulure njenengan niku nggih kancane njenengan.” Walaupun senyatanya saya sudah mulai ragu dengan sikap saya yang kelewat mengagungkan pertemanan, karena satu dan banyak hal. Bagaimana komentar istri saya sekiranya dia melihat sendiri pergaulan saya semasa kuliah ya?
Kanca kuwi rak mbiyen sebetulnya sudah mulai terasa ketika meninggalkan kampus. Banyak teman yang berubah. Wajar sebetulnya, masing-masing punya anak istri (atau suami) yang tentu banyak mengubah berbagai hal. Tetapi saya masih agak keberatan dengan kanca kuwi rak mbiyen. Meski lebih tampak sebagai orang yang butuh, dalam arti selalu saya yang berkunjung ke sana kemari tetapi nyaris tak seekor pun yang sudi membalas kunjungan saya, atau berusaha menahan diri mengomentari pandangan-pandangan yang menjengkelkan di FB tetapi tak pernah mereka berpikir betapa yang mereka tulis itu fvck belaka bagi saya, saya masih memuliakan pertemanan, setidak-tidaknya hingga pilpres 2014 kemarin.
Seandainya tidak mematuhi permintaan ayah agar saya memilih Amien Rais pada pemilu 2004, tentulah saya bisa membikin bio Twitter begini: Golput Selamanya! Tapi pada intinya saya tetap jengkel dengan kekuasaan, alasan mengapa saya hampir selalu prek su dengan pemilu. Semua pemilu itu tak ada pengaruh apa pun bagi saya. Situasi berbalik total ketika pemilu 2014 yang mengantarkan penguasa saat ini jadi presiden. Pengaruhnya luar biasa! Perilaku teman-teman saya yang ... sudahlah, bisa sampai subuh saya tulis kegombalan para pejuang (hah?) mahasiswa dulu. Ringkasnya: benar kata seorang pejabat pemerintahan Presiden Soeharto (semoga Allah mengampuni segala dosa dan membalas amal baik beliau dengan rahmat-Nya) bahwa “Halah, kalian ribut-ribut ini karena nggak kebagian saja.”
Ditambah sikap orang-orang yang dahulu teriak-teriak toleransi tetapi kini (oh tentu masih merasa sebagai orang paling toleran di dunia, di Tata Surya, di Bima Sakti dan sekitarnya) sibuk mengecam Islam, akhirnya saya bisa terima kebenaran ucapan ibu: “Kanca kuwi rak mbiyen.”  Saya rasa pilpres kemarin itu berguna bagi saya karena menyadarkan bahwa sebetulnya saya sudah lama kehilangan banyak teman.
Atau, biar tidak terasa kelewat muram, katakanlah pilpres kemarin adalah tahap terakhir penyaringan. Yang tersisa adalah yang memang layak disebut teman. Dari dulu sampai kapan pun, yang baik tak pernah banyak. Begitulah kenyataan hidup.

gigih pantang menggadaikan aqidah
Life is real



No comments:

Post a Comment