Mungkin karena selepas SD saya sudah sekolah jauh dari
rumah terpisah dari orang tua, saudara, dan keluarga besar, pada masa kuliah
saya meyakini anggapan bahwa sesungguhnya temanlah saudara itu. Keyakinan yang
dilahirkan oleh berbagai pengalaman bahwa di kala susah, saat memerlukan
sesuatu, ketika menghadapi masalah, teman-teman yang menolong, bukan anak-anak
pakde atau paklik saya. Dan ujaran “teman itu saudara” begitu beraroma
pemberontakan, begitu seksi, dan gagah perkasa. Agaknya, waktu itu, saya lupa yang
transfer uang per bulan ya orang tua saya. Bukan teman.
Mungkin karena merasa penghargaan saya kepada teman sudah
mendekati kultus dan sikap saya terhadap orang-orang yang punya hubungan darah
dengan saya dirasa mencemaskan, ibu saya sering berkata, “Kanca kuwi rak mbiyen” ketika bercerita tentang teman-teman
kecilnya yang sudah nyaris mbah-mbah waktu itu. Yah, namanya juga ibu, apa pun
perkataannya tentu tak saya bantah, meski dalam hati saya tertawakan
habis-habisan.
Masa kuliah saya lebih menyerupai aktivitas pertemanan
dibanding belajar yang menjadi tujuan utama masuk perguruan tingggi. Dan saya
mengagungkan perkataan Rabindranath Tagore, “Sekolah itu tak ada gunanya,
selain menambah teman,” atau yang semacam itulah. Lama setelah lulus saya
menikah. Komentar istri saya tentang teman, “Sedulure njenengan niku nggih kancane njenengan.” Walaupun
senyatanya saya sudah mulai ragu dengan sikap saya yang kelewat mengagungkan
pertemanan, karena satu dan banyak hal. Bagaimana komentar istri saya sekiranya
dia melihat sendiri pergaulan saya semasa kuliah ya?
Kanca kuwi rak mbiyen sebetulnya sudah mulai terasa ketika meninggalkan kampus. Banyak teman
yang berubah. Wajar sebetulnya, masing-masing punya anak istri (atau suami) yang
tentu banyak mengubah berbagai hal. Tetapi saya masih agak keberatan dengan kanca kuwi rak mbiyen. Meski lebih
tampak sebagai orang yang butuh, dalam arti selalu saya yang berkunjung ke sana
kemari tetapi nyaris tak seekor pun yang sudi membalas kunjungan saya, atau
berusaha menahan diri mengomentari pandangan-pandangan yang menjengkelkan di FB
tetapi tak pernah mereka berpikir betapa yang mereka tulis itu fvck belaka bagi
saya, saya masih memuliakan pertemanan, setidak-tidaknya hingga pilpres 2014
kemarin.
Seandainya tidak mematuhi permintaan ayah agar saya
memilih Amien Rais pada pemilu 2004, tentulah saya bisa membikin bio Twitter
begini: Golput Selamanya! Tapi pada intinya saya tetap jengkel dengan
kekuasaan, alasan mengapa saya hampir selalu prek su dengan pemilu. Semua
pemilu itu tak ada pengaruh apa pun bagi saya. Situasi berbalik total ketika
pemilu 2014 yang mengantarkan penguasa saat ini jadi presiden. Pengaruhnya luar
biasa! Perilaku teman-teman saya yang ... sudahlah, bisa sampai subuh saya
tulis kegombalan para pejuang (hah?) mahasiswa dulu. Ringkasnya: benar kata
seorang pejabat pemerintahan Presiden Soeharto (semoga Allah mengampuni segala
dosa dan membalas amal baik beliau dengan rahmat-Nya) bahwa “Halah, kalian
ribut-ribut ini karena nggak kebagian saja.”
Ditambah sikap orang-orang yang dahulu teriak-teriak
toleransi tetapi kini (oh tentu masih merasa sebagai orang paling toleran di
dunia, di Tata Surya, di Bima Sakti dan sekitarnya) sibuk mengecam Islam,
akhirnya saya bisa terima kebenaran ucapan ibu: “Kanca kuwi rak mbiyen.” Saya
rasa pilpres kemarin itu berguna bagi saya karena menyadarkan bahwa sebetulnya
saya sudah lama kehilangan banyak teman.
Atau, biar tidak terasa kelewat muram, katakanlah pilpres
kemarin adalah tahap terakhir penyaringan. Yang tersisa adalah yang memang
layak disebut teman. Dari dulu sampai kapan pun, yang baik tak pernah banyak.
Begitulah kenyataan hidup.
Life is real |
No comments:
Post a Comment