Suatu Senin pagi di atas bus Sumber Selamat (d/h Sumber Kencono) |
Ketika mencarikan video bus untuk anak-anak saya, saya
menemukan rekaman video bus Sumber Kencono (setidak-tidaknya itu kata judul
video) yang mengejar bus Mira di jalanan sangat ramai. Kelakuan semacam itu sering
saya jumpai di ruas jalan Maospati – Ngawi. Dan saya harus mengalah turun dari
aspal karena masih ingin hidup. Saya pikir bus-bus itu “menebus rugi waktu” setelah
harus merayap di jalan raya sepanjang kompleks Angkatan Udara Maospati karena pernah
ada kisah tragis di situ, dahulu. Kabarnya sebuah bus menabrak istri seorang
kapten AURI yang saat itu sedang bertugas di luar negeri. Hingga beberapa hari kemudian
tak ada bus yang berani lewat jalan itu. Semua memutar ke arah Caruban untuk
mencapai Ngawi.
Puluhan komentar di Youtube terhadap video “balapan bus”
itu rata-rata menyayangkan perilaku yang sangat tak terpuji awak bus Antar Kota
Antar Provinisi (AKAP) ternama di Jawa Timur dan sekitarnya tersebut. Ada
perkecualian, seperti biasa. Salah seorang komentator Youtube mengunggah
tulisan bernada sengak, “Yang bekomentar begini begitu soal video ini (bus
Sumber Kencono mengejar Mira) pasti belum pernah mengalami asyiknya menikmati
armada Sumber Kencono seri ......, W ... (menyebut seri bus dan nomor
polisinya).” Saya takjub dengan kemiskinan empati bismania itu, mencengangkan
betul mati rasanya hanya demi menunjukkan egonya bisa menghayati kebrutalan
perilaku seorang sopir bus. Saya yakin seyakin-yakinnya dia pasti belum pernah
dipaksa turun dari aspal, meski sudah sangat menepi, oleh bus yang makan jalan
dari arah berlawanan. Dia, mungkin, termasuk orang yang tertawa puas melihat
kakek renta di sekitar Banjarejo harus terhuyung-huyung menahan sepeda
bermuatan kayu bakarnya agar tidak jatuh karena hendak ditabrak bus barbar kejar-kajaran
di jalur Ngawi – Gendingan (yang kata seorang anggota Polres Ngawi ruas jalan
itu lazim disebut jalur tengkorak). Mungkin, lagi, komentator bismania terhebat
di dunia itu termasuk orang yang mengamini paham para pengemudi bus AKAP “Lebih
baik membunuh satu orang daripada membunuh orang satu bus” (Ironisnya, berani
menabrak orang tetapi takut setengah mati menabrak kucing).
Pernahkah saya naik Sumber Kencono? Saya menempuh sekolah
menengah di Solo, rumah saya di Ngawi. Rata-rata dua pekan sekali saya pulang.
Seringlah naik bus itu seraya menahan tubuh agar tidak jatuh karena menikung
dengan kecepatan seperti dikejar setan. Atau berharap-harap cemas agar orang bersepeda
motor yang dipaksa turun dari aspel dan berhenti susah payah itu bukan ayah
saya. Ketika kuliah di Yogyakarta saya sering pulang ke Ngawi menumpang bus
yang berkat reputasi menyeramkannya beroleh julukan Sumber Bencono di kalangan teman-teman
kecil saya di Ngawi. Hingga kini setelah berkeluarga, dan nama Sumber Kencono
diubah menjadi Sumber Selamat dan Sugeng Rahayu, saya sesekali naik bus milik
perusahaan otobus dengan dua nama itu dan kadang-kadang mengirim SMS ke nomor yang
tercantum di dalam bus jika ada pengemudinya yang ugal-ugalan. Dan memperoleh
jawaban standar: “Terima kasih atas perhatiannya, sopir yang bersangkutan akan
mendapat peringatan dari kami”.
Saya kira perubahan nama Sumber Kencono menjadi Sumber
Selamat dan Sugeng Rahayu itu menjelaskan komentar-komentar menyayangkan
perilaku biadab sopir bus yang dilontarkan kebanyakan penonton video di Youtube
yang saya lihat itu.
Bagaimana dengan bus Mira yang dikejar Sumber Kencono di
video itu? Suatu kali dalam perjalanan Ngawi – Yogyakarta saya mendengar
sopirnya mengobrol dengan keneknya, “Mira lebih ngeri sebetulnya, cuma dia kuat
bayar koran.” Entah benar entah tidak. Bagaimanapun juga, Mira (dan Eka) adalah
jelmaan bus Flores yang setelah kecelakaan di palang pintu kereta api Purwosari
pada tahun 1982 berubah nama menjadi Eka dan Mira. Sewaktu kecil dahulu, kisah
tentang bus-bus Flores yang dilempari batu karena ada bus dengan nama itu menabrak
orang bukan cerita yang jarang terdengar.
Akhirnya, saya yakin, komentator tuna empati Youtube itu
tidak tahu bahwa rata-rata pengemudi bus Jawa Timuran (AKAP Surabaya – Yogyakarta)
sangat penakut ketika mengendarai sepeda motor.
No comments:
Post a Comment