Selain stasiun-stasiun yang jauh lebih tertib dan kereta
api yang lebih nyaman ternyata banyak perkembangan perkeretaapian yang tidak
saya ketahui. Maklumlah sudah jarang saya bepergian dengan kereta api. Bahwa
stasiun kereta api menjadi lebih tertib saya tahu bagaimana mulanya ketika saya
pulang ke Yogyakarta dari Jatinegara naik kereta ekonomi Gajah Wong (Gajah Wong
adalah nama sungai yang mengalir di sebelah timur UIN [d/h IAIN] Sunan Kalijaga
Yogyakarta), waktu itu tiketnya masih sekitar Rp130.000-an. Di stasiun
Jatinegara terpampang pemberitahuan bahwa mulai tanggal 1 Oktober 2011 para
pengantar tidak boleh masuk ke peron. Setelah itu, karena tinggal di Yogyakarta
saya tak pernah lagi naik kereta ke Jakarta hingga pertengahan 2014.
Pagi pertengahan Mei 2014 saya ke Gambir untuk membeli
tiket langsung kereta api Taksaka pagi atau Argo Dwipangga atau kereta api apa
pun yang menuju Yogyakarta. Tiket habis. Keberangkatan paling cepat dan
tersedia tiketnya adalah kereta eksekutif Gajayana tujuan Malang yang berangkat
sekitar pukul lima sore. Setelah berusaha menelepon agen Safari Dharma Raya lalu
mencari tiket pesawat dan tidak dapat apa-apa saya beli saja tiket kereta yang dianggap
sebagai rival kereta api legendaris Bima itu.
Itulah perjalanan terakhir saya dengan kereta api Jakarta – Yogyakarta sebelum
pertengahan Januari 2016 kemarin ketika saya, yang bekerja secara freelance, harus mencari pekerjaan di
ibu kota tempat berputarnya 75 persen uang di republik ini.
Di Alfamart Pasar Wedi, Klaten, saya memesan tiket Kereta
Api Gajah Wong tujuan Jakarta Pasar Senen yang berangkat dari Stasiun
Lempuyangan, tetapi saya memesan keberangkatan dari Stasiun Yogyakarta Tugu
karena kemudahan transportasi menuju stasiun. Harga tiketnya Rp200.000 (dua
ratus ribu rupiah) pada tanggal 14 Januari 2016. Entah kenapa sekarang orang
lebih lazim menyebut tanda pembayaran ongkos kereta api sebagai tiket bukan
karcis seperti waktu saya kecil dahulu.
KA Gajah Wong melintas di Wojo |
Kekurangan membeli tiket bukan di stasiun adalah
penumpang harus menukarkan bukti pembelian dengan tiket di stasiun, paling
lambat satu jam sebelum keberangkatan. Ini merepotkan untuk orang generasi
karcis seperti saya yang biasa datang ke stasiun mepet karena sudah hafal dengan
tabiat kereta yang sering tidak bisa baca jam. Ternyata ada persoalan dengan kesiapan
peralatan dalam sistem pembelian jarak jauh itu. Ketika saya hendak mencetak
tiket di mesin cetak mandiri di Stasiun Lempuyanagn, pita printer LX 800
kehabisan tinta. Alhasil kertas yang keluar tidak ada cetakan apa-apanya. Setelah
bertanya pada petugas yang menjaga pintu masuk peron, saya mendatangi customer service. Antre. Oleh petugas customer services disuruh minta ke loket
agar dicetakkan petugas loket. Mbulet ya ... Serba otomatis okelah, tapi kalau
sarana dan pengetahuan personel masih era karcis domino gitu ya menyusahkan
juga akhirnya.
Senja keesokan harinya saya diantar istri dan anak bungsu
saya ke Stasiun Tugu. Dahulu, tahun 1990-an, setiap kali ke Stasiun Tugu pasti
ada satu atau dua orang yang saya kenal. Belakangan sudah tidak pernah saya
bertemu teman-teman yang hendak bepergian dengan kereta api. Tetapi kalau di Bandara Adisutjipto pasti ada orang yang
saya kenal, minimal kenal muka. Hanya yang miskin yang masih naik kereta
hahaha. Keyakinan bergurau ini tiba-tiba dikuatkan oleh lewatnya seseorang yang
membawa cangkul dibungkus koran di ruang tunggu stasiun. Saya panggil, “Bon!”
Bambang Subono adalah aktivis mahasiswa 1980-an yang saya segani karena integritas
dan pilihan hidupnya yang, bagi kebanyakan orang, kelewat ekstrem. Dan dia
tetap Bono yang saya kenal dahulu. Bono yang berjalan kaki dari Mampang ke
Cawang karena memutuskan untuk membeli teh botol saat uangnya hanya cukup untuk
memilih antara teh botol dan ongkos bus kota.
Enggan memasuki pusaran kekuasaan politik seperti yang banyak
dilakukan teman-teman kami, Bono memilih berjualan obat-obatan herbal. Orang boleh
bilang Bono naif, sinting, tak realistis atau apalah. Sedikit banyak saya
mengikuti jejaknya untuk menjauhi pesta kuasa yang mirip buka puasa setelah menahan
lapar dahaga berkepanjangan itu. Setelah menanyakan nomor hp saya, Bono menuju
rangkaian kereta api Senja Utama Solo yang berangkat lebih dahulu, pukul 17:45.
Kereta Gajah Wong yang akan saya tumpangi sedianya berangkat pukul 18:05, kali
ini diumumkan terlambat karena satu dan lain hal yang saya tidak perhatikan
persisnya.
Pukul tujuh malam lewat banyak barulah kereta api
ekonomi Gajah Wong merayap perlahan meninggalkan peron 5 Stasiun Tugu. Secara
umum perjalanan berjalan lancar tanpa banyak menunggu kereta kelas lebih mahal
melaju dari arah berlawanan. Tampaknya pengaturan pemberangkatan kereta api
cukup rapi. Berhenti di banyak stasiun pun hanya dalam waktu yang cukup untuk menurunkan
dan menaikkan penumpang. Tentu saja ada tidak enaknya. Masa 200 ribu minta sama
dengan 400-an ribu (kereta eksekutif) hahaha. Kursi penumpang. Kursi
bersandaran tegak dan tanpa sekat antara penumpang itu sungguh tidak mengenakkan
untuk perjalanan jauh yang pasti melibatkan tidur.
Sejak Stasiun Sumpiuh saya sudah berusaha tidur. Baru berhasil
selepas Stasiun Cirebon. Kereta tiba di Stasiun Senen sekitar pukul setengah
empat, molor dari jadwal seharusnya pukul 02:05. Tak apalah, toh Kereta Rel
Listrik (KRL), disebut juga Commuter Line,
baru beroperasi pukul lima pagi. Saya membeli tiket berbentuk kartu seharga
Rp12.000 untuk trayek Senen – Palmerah. Kereta pertama jurusan Bogor tiba di
Stasiun Senen, saya naik hingga Stasiun Tanah Abang. Karena kereta pertama,
saya mendapat tempat duduk. Perkembangan KRL ini boleh juga, setiap hendak
berhenti di suatu stasiun ada pengumumannya. Ini cukup penting bagi orang yang bukan
penduduk ibu kota. Bahkan ketika saya tinggal di Jakarta dulu pernah hampir
terlewat stasiun Tanjung Barat dan ketika tergesa-gesa turun nyaris anak sulung
saya tertinggal ketika pintu mulai menutup sedangkan dia terhalang para
penumpang yang berdiri di depan pintu dan mereka yang berebut masuk. Untung ada
orang yang menolong dan mengangkatnya keluar sementara tangan mungilnya memegang
tangan saya erat-erat. Mengerikan kalau ingat itu. Lamunan saya buyar mendengar
pengumuman bahwa kereta akan memasuki Stasiun Tanah Abang sebentar lagi.
Agak lama menunggu, datanglah kereta tujuan tujuan Maja.
Kendati penuh saya tetap mendapat tempat duduk, tak lama kemudian kereta tiba di
Stasiun Palmerah tujuan akhir saya hari itu.
Sumber gambar:
Kereta Api Gajah Wong https://id.wikipedia.org/wiki/Kereta_api_Gajah_Wong