Pages

Monday, November 2, 2015

Lebak Bulus Dalam Kenangan

Perjalanan jalur darat di Jawa
Perjalanan terakhir dari Lebak Bulus (2013)



Kadang-kadang, pulang adalah perjalanan yang paling berat.~ Kirsty Scott

Beberapa pekan lalu saya ke Galeria (Yogyakarta) di Jalan Solo. Setelah tidak menemukan apa yang saya cari, saya keluar dan menyeberangi Jalan Prof. Dr. Ir. Herman Yohanes untuk mengambil sepeda motor. Mematuhi ketentuan Perda yang terpampang: “Sepeda motor Rp1.000, Mobil Rp2.000”, saya membayar uang parkir Rp1.000. Dengan nada dingin dan muka belum mandi, tukang parkirnya berkata, “rong ewu” (dua ribu). Ya saya bayar saja. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan (preman) itu kan kata konstitusi. Saya sudah malas ribut soal pelanggaran hukum terkait uang kecil. Jawaban “Cuma seribu, nggak bikin miskin” sudah sangat memuakkan bagi saya. (Memang cuma seribu, kali berapa coba?). “Perlawanan” terakhir saya dalam upaya ikut mengikis korupsi dari bawah berlangsung di terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tempat yang saya benci tetapi harus saya datangi kalau ingin pulang ke Jawa bagian tengah (Yogyakarta, Kartasura, Parakan). Terminal itulah yang membuat perjalanan menjadi sangat berat sejak pintu masuknya.
Di atas loket karcis masuk terminal tertera bahwa menurut Peraturan Daerah retribusi masuk terminal adalah Rp200 (dua ratus rupiah), setiap kali membayar dengan uang seribu rupiah, kepada petugas di depan gardu pembayaran yang membiarkan posnya kosong, tak pernah ada kembalian. Suatu saat saya bertanya kepada petugas berseragam Dishub mana kembalian saya. Dia memberi kembalian 500 rupiah. Ketika saya desak lagi mana 300 rupiahnya, dia tidak peduli dan asyik mengobrol dengan para calo. Itulah, sejak dulu saya tidak pernah berminat dengan segala macam gerakan pemberantasan korupsi. Untuk urusan ini saya menganut paham “kalau rumput susah dihilangkan, belajarlah menerima keberadaannya.”
Lepas dari uji kesabaran di gardu retribusi, ujian lebih berat menunggu. Para calo yang mencarikan penumpang untuk perusahaan-perusahaan otobus. Saya tidak tahu apa manfaat orang-orang ini selain membikin repot calon penumpang, mengingat jarak antara gardu retribusi dan loket berbagai agen bus cuma beberapa langkah. Setiap kali dikerubuti para calo saya selalu bilang, “Ke Solo, naik Raya,” atau “Ke Temanggung, naik Safari Dharma Raya”. Tentu saja sebagian dari mereka akan mengikuti saya sampai ke loket yang saya maksud, baru menyerah ketika saya membayar tiket. Tetapi taktik menjawab seperti itu saya peroleh setelah melalui pengalaman-pengalaman getir berikut.
Ketika saya harus pulang mendadak saya terpaksa mencari bus seadanya. Bus Raya sudah berangkat semua. Seorang calo menghampiri dan bertanya mau ke mana. Saya bilang Solo. Dia menggiring saya ke loket suatu agen bus. Saya bilang kepadanya saya mau naik Safari (tanpa Dharma Raya, bus yang melayani trayek Jakarta – Solo ini berpangkalan di Salatiga, sedangkan Safari Dharma Raya kantor pusatnya di Temanggung, seberang Taman Kartini, Kowangan). Si calo bilang bus dia lebih bagus. Begitu keluar dari bilik loket, dia memberi saya tiket bus seharga Rp95.000. Bus Mandala. Saya marah. Itu bus yang gratis pun saya tidak sudi naik. Bus Jawa Timur kelas bumel ini menyedihkan reputasinya dalam hal ngetem berkepanjangan. Si calo berkata tak kalah galaknya, “Bapak bilang mau ke Solo, kan? Ini tiket ke Solo.” Belum sempat saya bilang tapi jangan bus kampret begini, dia sudah kabur ditelan kerumunan orang. Dengan marah saya datangi loket penjualan tiket itu (tentu saja nama biliknya bukan “Mandala”, mustahil. Aneh saja bus semacam itu bisa mendapatkan izin trayek sedemikian jauh. Bilik loket itu memajang nama-nama PO terkenal seperti Pahala Kencana, Rosalia Indah, Lorena dan sebangsanya). Saya bilang, “Ini nggak bener, dibayar pun saya nggak mau naik bus kayak gini. Nih makan duit ini.” Sistem transportasi kita memang cenderung menyusahkan orang yang bepergian. Setidak-tidaknya dulu, tak tahu sekarang.
Lain waktu saya diam saja ketika para calo menanyakan mau ke mana. Ngamuk mereka. Teriak-teriak, “Apa sih susahnya njawab ditanya begitu?” Entahlah, saya heran ke mana perginya bangsa yang konon ramah dan tidak suka menyusahkan orang lain yang saya baca dalam buku “Pancasila Cermin Hidupku” terbitan Sumber Kawruh, Klaten, semasa SD dahulu.
Tambah pengalaman, ketika ke Lebak Bulus lagi dan ditanya calo mau ke mana saya jawab, “Ke situ” sambil menunjuk loket agen bus yang saya maksud. Mereka panjang akal rupanya. Menggerutu keras-keras, “Iya tahu, maksud gw mau ke kota mana?”
Hebat memang terminal di negeri kita ini. Orang bepergian itu sudah susah, masih ditambah sulit dengan kelakuan para calo dan sebagainya itu (pengamen, penjual yang memaksa penumpang membeli dengan menaruh barang di pangkuan penumpang, kalau disingkirkan marah, kalau mengembalikan dagangan mereka tanpa ekspresi kena marah juga). Kabarnya Lebak Bulus belum apa-apa dibanding Pulo Gadung. Teman saya pernah memakai taktik menunjukkan tiket (bekas) agar tidak dikuntit calo. Dengan kewenangan melebihi polisi, para calo meminta teman saya menunjukkan tiket itu. Habislah teman saya itu diledek dan dimaki-maki para calo, lalu digelandang ke atas bus sesuai kemauan mereka dan teman saya itu harus membeli tiket bus tersebut.
Kembali ke Lebak Bulus, taktik menyebut nama bus juga tak sepenuhnya manjur. Suatu kali saya, istri, dan anak saya yang waktu itu masih bayi dihadang pada calo. Saya bilang sudah beli tiket bus Raya. Dua orang calo mengikuti kami hingga saya melapor ke agen. Tahu bahwa kami naik Eksekutif 28 (waktu itu itu harga tiketnya Rp125.000) mereka berteriak-teriak, “Yah, cuma patas, kirain VIP ....”.
Belum lagi kelakuan para portir yang memaksakan jasa mengangkut barang. Belum lagi kelakuan orang tak berseragam yang entah dari mana punya kewenangan menarik pungutan untuk taksi yang masuk ke halaman terminal. Dan situasi terminalnya sendiri, jangan bicara sama sekali soal kelayakan.
Mengapa terminal-terminanl bus di negeri ini dipenuhi orang-orang berhati jahat? Mengapa terminal kita lebih banyak berisi bukan orang-orang yang bepergian? Mengapa orang-orang yang bepergian (penggerak perekonomian berkat mobilitas mereka) harus disiksa dengan pengamen yang ngamuk-ngamuk jika tidak diberi? Mengapa kios-kios di terminal (Lebak Bulus, misalnya) tega mencekik pembeli dengan harga barang yang berkali-kali lipat harga di luar? Pertanyaan-pertanyaan ini tak pernah terjawab hingga Terminal Lebak Bulus ditutup.
Dengan kadar kebengisan lebih rendah, terminal-terminal lain yang pernah saya kunjungi kira-kira ya seperti itulah tidak nyamannya. Dan saya tidak terlalu peduli, karena sudah telanjur malas naik bus. Untunglah saya tinggal di Yogyakarta sekarang, jarang harus ke Jakarta. Pesawat dan kereta api jauh lebih beradab daripada bus yang mengharuskan orang berurusan dengan ketidaknyamanan terminal. Pengalaman pahit dengan terminal, yang tidak istimewa karena ratusan ribu orang lain pasti pernah mengalami, sebetulnya sudah nyaris tersisih dari benak sekiranya bukan karena jengkel dengan tukang parkir di awal tulisan ini dan kesedihan teramat mendalam karena kalimat ini: “Hitchhiking in Indonesia is usually very easy for foreigners (Bule) while it gets harder for locals, …. (Kutipan ini diambil dari http://hitchwiki.org/en/Indonesia)

Catatan:
Di Terminal Giwangan, Yogyakarta, retribusi beres saja, sesuai yang tercantum di pemberitahuan. Terminal Tirtonadi (Surakarta) hampir sebaik Giwangan, sesekali saja ada petugas yang berlagak lupa memberikan kembalian. Tidak ada pungutan apa pun di sub-terminal Jombor (entah sekarang), namun perilaku sopir taksi dan tukang ojeknya tidak menyenangkan dalam mencari penumpang. Ini fenomena lumrah sebetulnya, tetapi harga yang mereka tawarkan tidak masuk akal. Bagi yang belum pernah ke Yogya, mending naik Trans Jogja saja. Menjangkau hampir semua lokasi dalam kota di Yogyakarta dan sebagian Sleman, bahkan sampai ke Prambanan. Jika tujuan Anda tidak terjangkau bus murah dan menyenangkan ini (Rp3500, saya naik bus ini terakhir tanggal 25 Oktober 2015), keluar saja dari areal terminal, abaikan tawaran taksi gelap dan ojek, pilihlah taksi Jas atau Vetri (dibilang iklan ya biar, cuma dua ini yang pernah saya tumpangi :D), keduanya pakai argo. Kalau tak ada yang lewat, coba telepon saja ke (0274) 373737. Cuma nomor telepon Taksi Jas ini yang saya hafal karena setiap hari lihat.

Hal yang sama berlaku juga untuk Stasiun Tugu, Lempuyangan, dan Terminal Giwangan (di terminal ini pilihan bus kota lebih banyak). Bagi yang sudah lama meninggalkan Yogyakarta, tidak usah menunggu Jalur 7. Dan banyak jalur lain yang ditiadakan.

Jika Anda datang ke Yogyakarta melalui Maguwo (Bandara Adi Sutjipto), naik saja Trans Jogja, turun di Amplaz, pilih taksi argo yang banyak lalu lalang di Jalan Solo. Saran ini tidak berlaku bagi Anda yang tidak keberatan membayar Rp80.000 untuk ongkos yang sebetulnya cuma dua puluh lima ribuan dengan taksi argo.

No comments:

Post a Comment