Pages

Tuesday, November 6, 2018

Kisah Cinta Kismine Washington dan John Unger


terjemahan Noor Cholis
Terjemahan The Diamond as Big as the Ritz


Mereka sedang berada di semak-semak favorit mereka, dan di antara ciuman John memperturutkan diri dalam firasat buruk romantis yang dibayangkannya menambah kemuraman hubungan mereka.
“Kadang aku pikir kita tak akan pernah menikah,” kata John sedih. “Kamu terlalu kaya, terlalu memikat. Tidak ada orang sekaya kamu yang bisa seperti gadis-gadis lain. Aku harus menikah dengan anak perempuan pedagang grosir perkakas yang cukup berada dari Omaha atau Sioux City, dan puas dengan setengah jutanya.”
“Aku pernah kenal anak perempuan seorang pedagang grosir perkakas,” ujar Kismine. “Kurasa kamu tidak akan cukup puas dengannya. Dia teman kakak perempuanku. Dia pernah berkunjung ke sini.”
“Oh, jadi kamu pernah punya tamu lain?” seru John terkejut.
Kismine tampak menyesali perkataannya.
“Oh, ya,” kata Kismine cepat-cepat, “ada beberapa.”
“Tapi apa kamu tidak—bukankah ayahmu takut mereka akan berbicara di luar?”
“Oh, sedikit, sedikit,” jawab Kismine. “Kita bicara hal yang lebih menyenangkan saja.”
Tapi rasa ingin tahu John tergugah.
“Hal yang lebih menyenangkan!” John mendesak. “Apa yang tidak menyenangkan dengan itu? Bukankah mereka gadis-gadis yang baik?”
Di luar dugaan John, Kismine mulai menangis.
“Ya—it—itu—itulah masalahnya. Aku menjadi be-begitu terikat dengan sebagian dari mereka. Jasmine juga, tapi dia terus saja mengundang mereka. Aku tidak mengerti itu.”
Sebuah kecurigaan misterius tumbuh di hati John.
“Maksudmu mereka bercerita, dan ayahmu menyuruh mereka—disingkirkan?”
“Lebih buruk dari itu,” gumam Kismine terpatah-patah. “Ayah tidak mau ambil risiko—dan Jasmine terus mengundang mereka datang, dan mereka sangat senang!”
Kismine dilanda kesedihan mendalam.
Terpaku oleh horor pemberitahuan itu, John duduk di sana dengan mulut ternganga, merasakan saraf tubuhnya bercicit-cicit seperti begitu banyak burung pipit bertengger di tulang belakangnya.
“Nah, sudah kukatakan kepadamu, padahal mestinya tidak boleh,” kata Kismine, tenang mendadak dan mengeringkan mata biru gelapnya.  
“Kamu mau bilang bahwa ayahmu menyuruh mereka dibunuh sebelum mereka pergi?”
Kismine mengangguk.
“Pada bulan Agustus biasanya—atau awal September. Tentu saja kami mendapat semua kesenangan dari mereka terlebih dahulu sebanyak yang kami bisa.”
“Alangkah sadisnya! Bagaimana—mengapa, aku pasti gila! Apakah kamu benar-benar mengakui bahwa—”
“Ya,” sela Kismine, mengangkat bahunya. “Kami tidak bisa memenjarakan mereka begitu saja seperti para penerbang itu, bisa-bisa mereka menjadi caci maki tak ada habisnya bagi kami setiap hari. Dan semua selalu dipermudah untuk Jasmine dan aku karena ayah sudah menyuruh itu dilakukan lebih cepat dari perkiraan kami. Dengan cara itu kami menghindari setiap adegan perpisahan—”
“Jadi kamu membunuh mereka! Hah!” teriak John.
“Itu dilakukan dengan sangat halus, mereka dibius saat mereka tidur—dan keluarga mereka selalu diberitahu bahwa mereka meninggal karena demam scarlet di Butte.”
“Tapi—aku tidak paham mengapa kamu terus mengundang mereka!”
“Bukan aku,” Kismine meledak. “Aku tidak pernah mengundang siapa pun. Jasmine-lah yang mengundang. Dan mereka selalu mendapatkan kegembiraan. Jasmine memberi mereka hadiah-hadiah paling bagus menjelang akhir. Mungkin aku akan menerima tamu juga—tapi aku akan menjadikannya lebih rumit. Kami tidak bisa membiarkan hal tidak diinginkan semacam itu seperti kematian menghalangi kami saat menikmati hidup. Bayangkan betapa sepinya di sini jika kami tak pernah mempunyai seorang pun. Lagi pula, ayah dan ibu sudah mengorbankan sebagian sahabat-sahabat mereka persis seperti yang kami alami.”
“Jadi,” teriak John dengan nada menuduh, “jadi kamu membiarkanku bercinta denganmu dan berpura-pura membalasnya, lalu berbicara tentang perkawinan, sementara itu tahu betul bahwa aku tidak akan keluar dari sini hidup-hidup—”

Petikan cerita ini diambil dari terjemahan The Curious Case of Benjamin Button & The Diamond as Big as Ritz dalam F. Scott Fitzgerald, Kisah Ajaib Benjamin Button dan Berlian Sebesar Ritz, bisa diperoleh dengan harga Rp47.000 (empat puluh tujuh ribu rupiah), belum termasuk ongkos kirim. Hubungi 0812 2550 5941 (wa)

Saturday, March 24, 2018

Surakarta atau Solo?


Perbedaan antara Solo dan Surakarta
Kalasan (Daerah Istimewa Yogyakarta) tampak dari udara.


Jika Anda membaca, buku misalnya, yang enak dibaca dengan uraian mengalir lancar dan gaya bahasa luwes, boleh jadi itu karena penulisnya (atau penerjemahnya) piawai. Tetapi, sesungguhnya, sangat boleh jadi editornya yang jempolan. Meski di negeri kita, apa boleh buat, profesi editor (penyunting) sering diremehkan dan dianggap tak lebih dari proofreader (pemeriksa aksara), sesungguhnya tugas editor (sungguhan) sangat berat.
Selain memastikan naskah yang sering ditulis atau diterjemahkan, karena satu dan banyak hal, secara buruk menjadi bagus lagi mudah dibaca, editor harus jeli menangkap sesuatu yang tampaknya biasa-biasa saja. Misalnya, Solo atau Surakarta? Yogya atau Jogja?
Ketika memeriksa suatu naskah terjemahan tentang kiprah seorang seniman yang aktif di Solo dan sesekali mengejar di ISI Surakarta, saya tidak mendapati penyebutan dua nama untuk satu kota itu sebagai sesuatu yang bermasalah. Namun, rekan editor saya mengirim email bertanya, “Mas, yang benar Solo atau Surakarta, sih?”
Saya balas begini, “Solo untuk penyebutan dalam percakapan sehari-hari. Surakarta untuk penyebutan resmi atau keperluan administrasi. Misalnya, aku dulu sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Surakarta, tapi kalau ditanya kondektur turun mana aku jawab Solo. Atau begini, dia orang Solo dengan KTP Surakarta.”
Rekan sesama editor itu teman saya semasa kuliah di Yogyakarta dan kami pernah jalan-jalan di Solo suatu ketika. Sehingga saya berpikir, “Lah, kok nggak tahu ya gitu aja?”
Tetapi rekan saya itu punya jawaban tepat dan bagus, “Ya, kita tahu. Tapi bagaimana dengan orang-orang luar Jawa? Lagian terbitan ini kan bilingual, orang di luar Indonesia bisa menyangka seniman itu tinggal di Solo dan mengajar di Surakarta, dua kota yang berbeda.”
Iya juga ya. Dia benar. Akhirnya kami putuskan untuk memberi keterangan bahwa Solo dan Surakarta adalah kota yang sama. Solo adalah sebutan dalam komunikasi sehari-hari tak resmi, sedangkan Surakarta adalah nama resmi dan administratif Solo. Atau, “Di sela-sela kesibukannya, seniman tersohor itu menyempatkan diri mengajar di ISI Surakarta (Solo).
Begitulah. Benar bunyi ujaran yang populer di kalangan penyunting sedunia: “Four eyes better than two.” Tanpa diperiksa ulang oleh rekan sesama editor itu, naskah yang saya sunting tidak akan memberikan keterangan penting bahwa Solo dan Surakarta adalah satu kota yang sama. Sesuatu yang semua orang Surakarta dan sekitarnya pasti tahu, tetapi mereka yang tinggal di luar kawasan itu belum tentu.
Sedangkan mengenai Yogya atau Jogja. Saya memilih Yogya, atau resminya Yogyakarta, bukan Jogja. Nama asalnya dalam bahasa Jawa adalah Ngayogyakarta, bukan Ngajogjakarta. Itu saja. Tetapi itu hanya saya berlakukan untuk naskah yang saya urus. Kalau nama kota pusat kebudayaan Jawa itu di karcis bus atau kaca depan bus, ya masa kayak gitu diributin. Wkwkwkwk.

Thursday, March 22, 2018

Cara Ampuh Mengeluarkan Kunci Yang Patah di Lubang Kunci


Masih dalam suasana Hari Raya Iedul Fitri tahun lalu, dalam perjalanan dari Ngawi menuju Kartosuro, saya singgah di rumah teman saya di Suwatu, Tanon, Sragen. Sudah malam saat itu.

Cara Ampuh Mengeluarkan Kunci Yang Patah di Lubang Kunci
Peta Suwatu, Tanon, Sragen

Setelah cukup mengobrol saya pamit. Karena suasana masih lebaran teman saya memberi sekaleng biskuit sebagai buah tangan. Ketika hendak membuka jok sepeda motor (bagasi Kaze ZX 130 cukup besar) untuk memasukkan oleh-oleh itu, anak kunci motor patah.

Cara Ampuh Mengeluarkan Kunci Yang Patah di Lubang Kunci
Kunci Kawasaki Kaze ZX 130 patah

Teman saya bilang ada tetangganya yang ahli kunci. Ditarik oleh teman saya, kami menuju rumah ahli kunci yang dimaksud. Ya namanya juga lebaran, ahli kunci itu pulang kampung. Teman saya bilang ada ahli kunci lain. Tenang saja, katanya. Tetapi tali untuk menarik motor putus. Kadang-kadang, seperti siklus tiap beberapa bulan bagi saya, ada hari yang isinya cuma sial, sial, dan sangat sial. Hahaha. Ketika teman saya pulang untuk mengambil tali yang lebih kuat, saya membuka Google mencari tips ampuh mengeluarkan kunci patah dari lubang kunci. Saat itulah keyakinan saya semakin bulat bahwa teknologi tidak selalu berguna. Kadang malah menjengkelkan. Sangat menjengkelkan.
Tips pertama yang saya temukan di blog teratas pada halaman pertama Google menyarankan begini: “Jika kunci patah di tangki, cobalah cari kunci cadangannya. Bisa dipakai untuk menyalakan motor.” Saya jengkel dan menyumpahi penulis blog itu. Di tengah perjalanan begini? Masih seratusan kilometer dari tujuan begini? Nyari kunci cadangannya? Mending nggak usah ngasih tips lah daripada bikin kesel orang susah.
Tips kedua, dari blog lainnya: “Cari lem super glue, oleskan pada patahan kunci yang di luar, lalu tekan kuat-kuat dengan patahan di dalam lubang kunci .....” Ini di Suwatu, di mana jam sembilan malam tak ada warung buka. Nanya dari rumah ke rumah ya percuma. Nggak ada orang yang merasa perlu punya.
Tips ketiga, ini yang menganggap semua orang goblok, berbunyi: “Carilah ahli kunci.” Ya tapi gitulah risiko hidup di era siapa saja bisa menulis apa saja, asal bikin, tidak menolong dan, menjengkelkannya, pengunjung situs semacam itu banyak.
 
Cara Ampuh Mengeluarkan Kunci Yang Patah di Lubang Kunci
wkwkwkwkwk
Akhirnya teman saya datang membawa tali yang lebih kuat. Malam bertambah larut. Tanpa kenal lelah teman saya segera menarik motor saya lagi ke ahli kunci lain yang lebih jauh jaraknya. Judulnya saja ahli kunci. Kenyataannya: dia bilang, setelah bersusah payah mencoba dengan cara yang tidak meyakinkan, “mbotĂȘn sagĂȘt, Pak.”
Solusinya: saya pinjam motor teman saya itu untuk pulang ke Kartosuro. Keesokan harinya, saya menanyakan kunci cadangan sepeda motor Kaze ZX 130 di rumah kakak ipar saya di Boyolai. Ya, saya pinjam motor kakak ipar.

Jika kejadian tidak menyenangkan patah kunci yang saya alami menimpa Anda, sudahlah hadapai saja, tidak ada tips apa pun kecuali ketemu ahli kunci. Kalau di tengah hutan bagaimana? Ya kan kecelakaan. Bisa di mana saja. Sabar. Berdoa juga tak ada jeleknya. Mana tahu ada orang yang berbaik hati mau mendorong (saya sering ditawari bantuan mendorong dengan kaki ketika kehabisan bensin). Persis ban bocor, tak ada tips apa-apa selain menyiapkan kesabaran dan tenaga sampai ketemu tukang tambal ban.

Wednesday, September 27, 2017

Derita Muslim Rohingya, Duka Kaum Muslimin Seluruhnya



kejahatan munafik Allysa Wahid Yaqut Cholil Qoumas

Saya paling tidak tahan jika ada orang membuat status di Facebook yang intinya mencela atau memprotes isi khotbah Jum’at (yang betul Jumat menurut KBBI, tapi ya biarin saja) yang mereka ikuti. Sebetulnya, sering, amat sering malah, saya mengeluhkan isi khotbah Jum’at, tetapi ya saya simpan sendiri saja, tanpa perlu mengumbarnya kepada publik. Di samping mendengarkan khotbah itu wajib dan kalau mau protes isinya sebaiknya khatib diajak bicara berdua saja, saya tidak mau memberi umpan empuk pada para pembenci Islam. Saya ingat kata-kata Annemarie Schimmel, yang kurang lebih begini bunyinya: “Tidak ada fitnah yang begitu gencar dan jahat seperti yang menimpa Islam.” Bahwa umat Islam sekarang sedang mengalami kesulitan di mana-mana dan di segala lini, itu fakta. Sehingga saya tidak mau menabur garam pada luka yang diderita umat Islam sedunia. Lagi pula saya adalah bagian dari umat itu. Insya Allah.
Tak banyak khatib yang khotbahnya saya renungkan. Salah satu dari yang tak banyak itu adalah khatib di masjid PP Taruna Al-Qur’an pada Jum’at 8 September 2017. Intinya, penyesatan informasi tentang Muslim Rohingya ini sudah keterlaluan. Dikatakan bahwa kaum Muslimin Rohingya adalah pendatang, perusuh, bahkan belakangan dituding teroris. Padahal, kata khatib tadi, Islam masuk ke Arakan pada abad pertama Hijriyah bersama para saudagar Arab. Khatib tadi menyebut nama sahabat tapi saya lupa (sebab saya bertekad membuat tulisan ini berdasarkan ingatan saja, saya sengaja tidak membuka Google). Lama-kelamaan kaum Muslimin di Arakan mendirikan negara Islam di sana. Pada tahun 1700-an negara Islam Arakan diserang kaum Buddhis dan kalah. Sejak itulah malapetaka tak henti mendera kaum Muslimin Rohingya. Khatib menyebutkan secara kronologis pembantaian sistematis yang tujuannya adalah melenyapkan kaum Muslimin Rohingya di Arakan. Pendek kata, genosida. Bukan pengetahuan baru sebetulnya, tetapi informatif dan menggugah ingatan saya pada penderitaan Rohingya yang saya baca sewaktu kecil.  Dan ajakan khatib untuk meluruskan informasi tentang Rohingya sangat signifikan di era perang gagasan ini. Perang di mana umat Islam babak beluk dihajar oleh, tidak saja lawan abadi mereka yang kini menjadi Barat tetapi juga, kaum yang secara lahiriah disebut Muslim dan Muslimah.
Tersebutlah Alissa Wahid yang mengatakan dalam salah satu twitnya bahwa Rohingya ditindas karena operasi militer Myanmar menumpas ARSA (Arakan Rohing Salvation Army). Saya bingung, bisa-bisanya sarjana psikologi UGM bicara sengarang itu. Sejak SD saya sering membaca berita tentang penderitaan Rohingya melalui majalah Pandjimas. ARSA? Ya baru dengar sekarang ini. Sementara itu Ketua GP Ansor dalam twitnya juga tidak jauh-jauh dari pernyataan sinis terhadap mereka yang peduli pada penderitaan Rohingya. Ini juga saya bingung, masa orang seperti dia tidak tahu ungkapan “kal bun ya nin wahidin”, derita seorang Muslim adalah juga derita Muslim lainnya, tolong-menolong sesama Muslim, semua Muslim bersaudara? Dan entah berapa puluh akun twitter, yang rata-rata pemuja rezim sekarang, menyuarakan pendapat yang kurang lebih setali tiga money. Kalau yang membuat pernyataan seperti itu adalah akun-akun Myanmar, wajar saja. Memang begitu cara kerja propaganda. Salah benar nomor seribu. Yang penting teriak sekencang dan sesering mungkin. Tapi orang-orang Indonesia itu agamanya Islam juga. Bisa-bisanya menjungkirbalikkan logika dan fakta? Tetapi ya begitulah perang pemikiran (ghazwul fikri) dalam prakteknya sejak dahulu. Pion-pion yang menyerang kita adalah sebagian orang-orang kita juga. Alasannya bisa macam-macam. Dalamnya laut bisa diduga, dalam hati siapa yang tahu.  
Sejauh yang saya ketahui, Muslim Rohingya sudah ada di Arakan sejak abad ke-8 Masehi, mereka penduduk asli negeri itu yang masuk Islam, mereka punya kerajaan sendiri dan berhubungan erat dengan kerajaan-kerajaan di Bengal. Setelah kemerdekaan Burma (sebelum berganti nama menjadi Myanmar) U Nu mengeluarkan pernyataan resmi yang mengakui keberadaan mereka sebagai warga negara Burma. Sepeninggal U Nu, yang memang negarawan besar itu, bagi orang Rohingnya yang ada hanyalah penderitaan dan penderitaan saja. Mereka adalah minoritas paling tertindas di dunia. Demikian menurut lembaga-lembaga resmi dunia. Lebih menyedihkan, di negeri kita banyak orang (yang mengaku beragama Islam dan tokoh Islam pun) sengaja menyesatkan fakta-fakta tentang kaum Muslimin Rohingya. Biasanya dengan kalimat yang berawal begini: “Tentu saja kita prihatin dengan persoalan Rohingya, tetapi ....” Selalu ada tetapi! Dan sesudah “tetapi” itulah sikap mereka sesungguhnya terhadap penderitaan Rohingya (bahkan mungkin seluruh kaum Muslimin) terungkap.
Sekadar bersimpati saja mereka tidak bisa. Kadang-kadang saya merasa sekaranglah saatnya kita melindungi diri dan keluarga sendiri. Perintahnya begitu ketika fitnah sudah merajalela dan ada kekhawatiran kita ikut gila. Selain doa, hanya itu yang masuk akal dan mudah dilaksanakan. Selain mendoakan kaum Muslimin Rohingya, doakan juga diri kita agar tidak menjadi orang munafik, yang kegirangan ketika cobaan berat menimpa kaum Muslimin.
Kasus genosida Rohingya dan sikap-sikap terhadapnya ini mengingatkan saya pada suatu hadits yang meriwayatkan betapa di mata orang munafik para Sahabat Rasulullah salallahu 'alaihi was salam tidak pernah melakukan hal yang benar. Ketika ada Sahabat tidak bersedekah karena memang tidak ada yang bisa disedekahkan (untuk memenuhi keperluan hidup saja sulit), orang-orang munafik mencela bahwa Sahabat itu keterlaluan kikir. Ketika ada Sahabat yang bersedekah sedikit karena mampunya segitu, orang-orang munafik menuduh dia tidak sungguh-sungguh bersedekah. Nah, ketika ada Sahabat yang bersedekah banyak (karena dia memang kaya) para munafikun berceloteh, “Wah, riya’ tuh.” Adapun yang dilakukan kaum munafikun? Ya mencela itu.  
allysa wahid yaqut cholil qoumas