Kalasan (Daerah Istimewa Yogyakarta) tampak dari udara. |
Jika Anda membaca, buku misalnya, yang enak dibaca dengan
uraian mengalir lancar dan gaya bahasa luwes, boleh jadi itu karena penulisnya
(atau penerjemahnya) piawai. Tetapi, sesungguhnya, sangat boleh jadi editornya yang
jempolan. Meski di negeri kita, apa boleh buat, profesi editor (penyunting) sering
diremehkan dan dianggap tak lebih dari proofreader (pemeriksa aksara), sesungguhnya
tugas editor (sungguhan) sangat berat.
Selain memastikan naskah yang sering ditulis atau
diterjemahkan, karena satu dan banyak hal, secara buruk menjadi bagus lagi mudah
dibaca, editor harus jeli menangkap sesuatu yang tampaknya biasa-biasa saja.
Misalnya, Solo atau Surakarta? Yogya atau Jogja?
Ketika memeriksa suatu naskah terjemahan tentang kiprah seorang
seniman yang aktif di Solo dan sesekali mengejar di ISI Surakarta, saya tidak mendapati
penyebutan dua nama untuk satu kota itu sebagai sesuatu yang bermasalah. Namun,
rekan editor saya mengirim email bertanya, “Mas, yang benar Solo atau
Surakarta, sih?”
Saya balas begini, “Solo untuk penyebutan dalam percakapan
sehari-hari. Surakarta untuk penyebutan resmi atau keperluan administrasi.
Misalnya, aku dulu sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Surakarta, tapi kalau
ditanya kondektur turun mana aku jawab Solo. Atau begini, dia orang Solo dengan
KTP Surakarta.”
Rekan sesama editor itu teman saya semasa kuliah di Yogyakarta
dan kami pernah jalan-jalan di Solo suatu ketika. Sehingga saya berpikir, “Lah,
kok nggak tahu ya gitu aja?”
Tetapi rekan saya itu punya jawaban tepat dan bagus, “Ya,
kita tahu. Tapi bagaimana dengan orang-orang luar Jawa? Lagian terbitan ini kan
bilingual, orang di luar Indonesia bisa menyangka seniman itu tinggal di Solo
dan mengajar di Surakarta, dua kota yang berbeda.”
Iya juga ya. Dia benar. Akhirnya kami putuskan untuk
memberi keterangan bahwa Solo dan Surakarta adalah kota yang sama. Solo adalah sebutan
dalam komunikasi sehari-hari tak resmi, sedangkan Surakarta adalah nama resmi
dan administratif Solo. Atau, “Di sela-sela kesibukannya, seniman tersohor itu
menyempatkan diri mengajar di ISI Surakarta (Solo).
Begitulah. Benar bunyi ujaran yang populer di kalangan penyunting
sedunia: “Four eyes better than two.” Tanpa diperiksa ulang oleh rekan sesama
editor itu, naskah yang saya sunting tidak akan memberikan keterangan penting bahwa
Solo dan Surakarta adalah satu kota yang sama. Sesuatu yang semua orang Surakarta
dan sekitarnya pasti tahu, tetapi mereka yang tinggal di luar kawasan itu belum
tentu.
Sedangkan mengenai Yogya atau Jogja. Saya memilih Yogya,
atau resminya Yogyakarta, bukan Jogja. Nama asalnya dalam bahasa Jawa adalah Ngayogyakarta,
bukan Ngajogjakarta. Itu saja. Tetapi itu hanya saya berlakukan untuk naskah yang
saya urus. Kalau nama kota pusat kebudayaan Jawa itu di karcis bus atau kaca
depan bus, ya masa kayak gitu diributin. Wkwkwkwk.
No comments:
Post a Comment