Krisis keuangan
global 2008–2009, yang tidak ada presedennya dalam sejarah, memunculkan
berbagai macam isu berkenaan dengan stabilitas dan kesehatan sistem keuangan.
Hal ini mendorong dilakukannya peninjauan ulang besar-besaran oleh komunitas
internasional menyangkut perlunya pembaruan regulasi dan kapasitas arsitektur
keuangan internasional yang ada serta upaya mencari solusi yang lebih tahan
lama (Islamic Finance and Global
Financial Stability, 2010: 7).
Di tengah-tengah
lingkungan lebih menantang yang disodorkan oleh krisis keuangan internasional
mutakhir, ekspansi global keuangan Islam terus berlangsung dan perkembangannya
tetap dinamis. Saat ini keuangan Islam sudah menjadi salah satu segmen keuangan
yang tumbuh paling cepat dalam sistem keuangan internasional. Fase
perkembangannya yang dimulai dengan penuh semangat sebagai perekonomian domestik-sentris
negara-negara Muslim, berubah dengan cepat dalam dekade ini menjadi diakui
secara internasional dan diterima sebagai sebuah bentuk intermediasi keuangan
yang kompetitif dan kokoh oleh semua masyarakat (Islamic Finance and Global Financial Stability, 2010: 7).
Krisis keuangan
global 2008–09 memunculkan berbagai isu berkenaan dengan stabilitas dan
ketahanan sistem finansial. Di jantung krisis, yang terjadi adalah nyaris
ambruknya fungsi proses intermediasi kekuasaan di tengah-tengah hilangnya
kepercayaan masyarakat luas terhadap sistem keuangan (Islamic Finance and Global Financial Stability, 2010:13).
Banyak yang
disebut-sebut sebagai penyebab krisis, antara lain adalah kombinasi berbagai
kesalahan dalam struktur insentif dan inovasi finansial tak terkendali yang
menimbulkan pemberian pinjaman serampangan dan pengambilan risiko (risk-taking) berlebihan. Faktor-faktor
lain yang turut berperan termasuk terkikisnya praktek-praktek kehati-hatian
yang sehat, di mana bank mengabaikan standar-standar penjaminan (underwriting) dan manajemen risiko demi
mengejar keuntungan jangka pendek dan pangsa pasar. Ketika lembaga-lembaga
perbankan menggunakan teknik-teknik rekayasa keuangan yang semakin canggih,
inovasi keuangan semacam itu tidak didukung oleh peningkatan-peningkatan serupa
bagi proses tata kelola dan infrastruktur serta manajemen risiko mereka (Islamic Finance and Global Financial
Stability, 2010: 7).
Sebagai sebuah
bentuk intermediasi keuangan, keuangan Islam menggabungkan beberapa unsur yang
memandu proses mobilisasi dan alokasi dana untuk menggerakkan aktivitas
perekonomian produktif dan pembangunan inklusif. Hal yang mendasar bagi
keuangan Islam adalah persyaratan bahwa transaksi finansial harus ditopang oleh
aktivitas perekonomian riil. Di samping itu, keuangan Islam mengedepankan
pembagian keuntungan dan dengan demikian juga pembagian risiko. Unsur-unsur ini
membatasi jangkauan leverage dan
memberikan penekanan pada transparansi serta pengungkapan dalam dokumentasi
kontrak. Secara keseluruhan, keuangan Islam menjanjikan peningkatan disiplin
yang berperan dalam menjamin pertumbuhan dan stabilitas finansial (Islamic Finance and Global Financial
Stability, 2010: 7).
Kehadiran
lembaga-lembaga keuangan Islam seperti perbankan syariah, yang tidak hanya
diminati kauam Muslimin melainkan juga di neger-negeri non-Muslim, tentunya
menarik perhatian banyak kalangan dan dengan sendirinya memunculkan pertanyaan
tentang apa sebetulnya kontribusi Islam bagi industri keuangan.
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Islam adalah
sebuah dien (jalan hidup) yang
praktis, mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia tanpa
memandang waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya. Selain itu, Islam
adalah agama fitrah yang sesuai
dengan sifat dasar manusia (Zainul Arifin, 2002, 4, 5).
Aktivitas keuangan
dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka
kepada pelaksanaan, setidak-tidaknya, dua ajaran Al Qur’an yaitu:
1.
Prinsip At Ta’awun, yakni saling membantu dan saling bekerja sama antara
anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an, “
... Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ...” (QS 5:2).
2.
Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana)
dan membiarkannya menganggur (idle)
dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum
sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an, “... Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu ...” (QS 4:
29) (Zainul Arifin 2002, h. 11, 12)
Sistem keuangan,
dan dengan demikian perbankan, Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih
luas tentang ekonomi Islam, di mana tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para
ulama, adalah memberlakukan sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan
ekonomi. Karena dasar etika inilah, keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan umat
Islam bukan sekadar merupakan sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam
transaksi finansial ini oleh kebanyakan kalangan Muslim dianggap sebagai
kewajiban agama. Kemampuan lembaga keuangan Islam untuk menarik menarik
investor bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan
keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara
sungguh-sungguh memperhatikan batas-batas yang digariskan Islam. (Tan Sri Datuk
Ahmed Mohamed Ibrahim, Islamic Banking:An
Overview, penyunting Daphne Buckmaster, Institute of Islamic Banking and
Insurance, London, 1996, h. 15 dikutip dalam Zainul Arifin, 2002: 13).
Dalam kehidupan
sehari-hari, Islam secara bersama-sama dapat diterjemahkan ke dalam teori dan
juga dapat diinterpretasikan ke dalam praktek tentang bagaimana seseorang
berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan
masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka
dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal ini menjadi
subjek yang dipelajari dalam ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang
dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda sari ekonomi tradisional. Oleh sebab
itu, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili satuan ekonomi
Islam (M. M. Metwally, Teori dan Model
Ekonomi Islam, Pengantar dan Penerjemah M. Husein Sawit, S.E., Ph D, PT
Bangkit Daya Insana, Jakarta, 1995, dikutip dalam Zainul Arifin, 2002: 13).
Secara garis
besar, prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat diuraikan sebagai berikut:
1)
Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis
sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia.
Manusia harus memanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna
memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan untuk
orang lain. Namun, yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan
dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
2)
Islam mengakui kepemilikan pribadi
dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor
produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat,
dan kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah,
apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
3)
Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam
adalah kerja sama. Seorang Muslim apakah dia sebagai pembeli, penjual, penerima
upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah
dalam Al Qur’an yang berbunyi, “... Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang
dilakukan secara suka sama suka di antara kalian ...” (QS 4:29).
4)
Kepemilikan kekayaan pribadi harus
berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Al Qur’an mengungkapkan bahwa, “Apa yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya di antara kalian ...” (QS 57:7). Oleh karena itu, sistem
ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa
orang saja. Konsep ini berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis di mana
kepemilikan indusrtri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali
industri yang merupakan kepentingan umum.
5)
Islam menjamin kepemilikan masyarakat,
dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini
didasari oleh Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak
yang sama atas air, padang rumput dan api.” Sunnah Rasulullah ini menghendaki
semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan
tambang, bahkan bahan pangan, harus dikelola oleh negara. Demikian juga
berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak
boleh dikuasasi oleh perorangan.
6)
Seorang Muslim harus takut kepada Allah
dan hari akhir, sebagaimana diuraikan dalam Al Qur’an, “Dan takutlah pada hari
sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan
balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dilakukannya. Dan mereka tidak
teraniaya ...” (QS 2:281). Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang
berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua
bentuk diskriminasi dan penindasan.
7)
Seorang Muslim yang kekayaannya
melebihi ukuran tertentu (nisab)
diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan
orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan
untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama,
zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak
produktif (idle assets), termasuk di
dalamnya adalah uang kas, deposito, emak, perak dan permata, pendapatan bersih
dari transaksi (net earning from
transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih invetasi.
8)
Islam melarang setiap pembayaran bunga
(riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman,
perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur’an secara
bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat
dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara berturut-turut. Pada tahap
pertama dalam Surat (30) Ar Rum ayat 39 Allah berfirman, “Dan suatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka itulah orang-orang yang
melipatgandakan pahalanya.”
Tahap kedua Allah berfirman dalam Surat (4) An Nisa’ ayat
160-161, “Maka disebabkan karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan
atas mereka yang baik yang (dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya telah dilarang dari padanya, dan karena
mereka memakan harta manusia dengan jalan yang batil. Dan Kami telah menyediakan
untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Tahap ketiga diturunkan oleh Allah melalui surat (3) Ali
Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Tahap terakhir larangan riba terdapat dalam Surat (2) Al
Baqarah ayat 278-279, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu mengerjakan (perintah itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” (Zainul Arifin, 2002: 13–16).
Islam bukanlah
satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu
yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan
uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aristoteles adalah orang
yang amat menentang dan melarang bunga, sedangkan Plato juga mengutuk praktek
bunga. (Zainul Arifin, 2002: 16).
Dalam Perjanjian
Lama larangan riba tercantum dalam Imamat 25:27, “... maka dia harus memasukkan
tahun-tahun sesudah penjualannya itu dalam perhitungan, dan kelebihannya
haruslah dikembalikannya kepada orang yang membeli dari padanya, supaya dia
boleh pulang ke tanah miliknya,” Ulangan 23:19 yang berbunyi, “Janganlah engkau
membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apa pun yang
dapat dibungakan,” sedangkan dalam Perjanjian Baru larangan riba dinyatakan
dalam Lukas 6:35, “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada
mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar
dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Maha Tinggi, sebab Dia baik terhadap
orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Pada dasarnya
Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan
(komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi
kebutuhan transaksi (money demand for
transaction), bukan untuk spekulasi. Dalam Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena
spekulasi tidak diperbolehkan (Zainul Arifin, 2002: 17). Uang adalah milik
masyarakat sehingga menimbun uang (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena
hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam
pandangan Islam uang adalah flow concept
sehingga selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam
perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin
baik perekonomian (Zainul Arifin, 2002: 17–18).
Bagi mereka yang
tidak dapat memproduktifkan harta, Islam menganjurkan dilakukannya investasi
dengan prinsip musyarakah dan mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi
hasil. Bila tidak ingin mengambil risiko ber-musyarakah atau ber-mudharabah
Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard,
yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, karena meminjamkan uang untuk
memperoleh imbalan adalah riba (Zainul Arifin, 2002: 18).
Secara mikro, qard tidak memberikan manfaat langsung
bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian
secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian qard membuat percepatan perputaran uang bertambah cepat, dan itu
artinya bertambahnya darah segar bagi perekonomian sehingga pendapatan nasional
meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman
akan meningkat pula pendapatannya. Demikian pula, pengeluaran shadaqah akan
memberikan manfaat yang kurang lebih sama dengan qard (Zainul Arifin, 2002:18)
Islam juga tidak
mengenal konsep time value of money,
namun Islam mengenal konsep economic
value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri.
Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi daripada harga
tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib, cicit
Rasulullah Muhammad, adalah orang yang pertama kali menjelaskan
diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deferred payment) lebih tinggi daripada harga tunai (Zainul Arifin,
2002: 18).
Komponen-komponen
mendasar keuangan Islam yang diuraikan di atas, terutama proposisi nilai
pembagian risiko dan keuntungan, ditopang oleh pendekatan etis terhadap
traksaksi-transaksi keuangan. Hal ini juga melibatkan perhatian lebih besar
terhadap transaksi-transaksi non-profit dan segmen-segmen masyarakat yang tidak
mempunyai banyak modal, di samping perhatian pada pembiayaan yang etis dan
bertanggung jawab. Dalam hal ini, industri jasa keuangan Islam juga menarik dan
bisa diakses mereka yang kurang beruntung yang pada umumnya tidak mempunyai
sumber daya pendanaan kecuali dari sektor keuangan semu atau informal. Dalam
prosesnya, pemberdayaan ekonomi mereka yang kurang beruntung tersebut akan
mengangkat status mereka dari segmen “tak layak bank” menjadi “layak bank”. Hal
ini tentu saja memberikan manfaat bagi para peminjam, sistem keuangan, dan
masyarakat pada umumnya serta meningkatkan inklusi finansial. Promosi sebuah
sistem keuangan yang lebih inklusif pada gilirannya akan meningkatkan proses
intermediasi keuangan dan menambah efektivitas kebijakan-kebijakan keuangan
secara keseluruhan. Akhirnya, melalui peningkatan arus finansial lintas batas,
keuangan Islam juga dapat ikut serta lebih mendekatkan kaitan-kaitan ekonomi
dan keuangan di seluruh dunia dengan memajukan pertumbuhan yang saling
menguatkan dalam perekonomian dunia (Islamic Finance and Global Financial
Stability, h. 22).
Islam adalah
sebuah jalan hidup praktis yang mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat
bagi manusia tanpa memandang waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya.
Selain itu, Islam adalah agama fitrah
yang sesuai dengan sifat dasar manusia.
Bagi orang-orang
yang beriman semua perintah Allah pasti akan mendatangkan manfaat, dan larangan
Allah (jika dilanggar) pasti akan mendatangkan mudarat. Perintah kepada kaum
Muslimin dalam Surat Al Baqarah untuk mencatat transaksi utang piutang dan
dihadirkan dua orang saksi jika tidak ada perjanjian tertulis sebetulnya sudah
menunjukkan dengan jelas bahwa ajaran Islam
mengantisipasi sistem perekonomian di segala zaman. Selain itu, fakta bahwa
Nabi Muhammad dan para sahabat beliau kebanyakan berprofesi sebagai pedagang
tentulah menjadikan soal-soal ekonomi, termasuk keuangan dan perdagangan,
sesuatu yang tidak asing dalam ajaran Islam. Dengan sejarahnya yang begitu
panjang, tentu saja wajar jika Islam memberikan kontribusi besar bagi perbaikan
industri keuangan, misalnya:
1.
Bagi internal umat Islam, sistem
keuangan Islam menjanjikan sebuah sistem yang membawa berkah di mana halal dan
haram sangat diperhatikan. Penekanan larangan riba dan halalnya perniagaan di
samping memiliki dimensi ukhrawi jelas memiliki dimenasi duniawi, yakni
keadilan sosial. Sistem keuangan yang bebas dari riba, seperti perbankan
syariah, mendorong percepatan perputaran perekonomian dengan ikut sertanya umat
Islam meminimalkan dana yang menganggur. Hal ini bisa terjadi karena sebagian
besar umat Islam tidak ragu-ragu lagi berbisnis terkait larangan riba.
2.
Bagi umat manusia pada umumnya, Islam
menawarkan sebuah sistem keuangan yang mencegah terjadinya penumpukan kekayaan
di tangan segelintir orang dan kemelaratan di sebagian terbesar orang yang
lain, karena Islam menekankan kepentingan bersama di atas kepentingan atau
keuntungan perorangan. Di samping itu Islam juga melarang akumulasi kekuasaan
oleh beberapa orang saja seperti yang lazim berlaku dalam masyarakat kapitalis.
Kendati demikian, Islam juga sangat menghormati hak milik perorangan sejauh
kepemilikan itu tidak merugikan kemaslahan umum serta tidak termasuk hal-hal
yang ditetapkan sebagai milik umat (umum). Prinsip At Ta’awanu (tolong-menolong) dalam kebaikan yang mendasari sistem
keuangan Islam tentu saja merupakan kontribusi besar bagi industri keuangan
yang memempertimbangkan keadilan sosial.
3.
Adapun prinsip Islam yang mencela
penimbunan uang (dana menganggur) tentulah sangat bagus bagi pertumbuhan
ekonomi produktif bagi siapa saja, Muslim maupun non-Muslim. Penekanan pada
pentingnya transaksi qard dalam
berbagai kajian fikih muamalah sejalan dengan prinsip penghindaran Al Iktinaz, yaitu menahan uang dan
membiarkannya menganggur serta tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat
bagi masyarakat umum.
4.
Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang
sarat dengan pendekatan etis, seperti prinsip bagi hasil, dapat memberikan
sumbangan besar bagi industri keuangan yang lebih inklusif, bagi sebuah perekonomian
dunia yang tumbuh saling menguatkan antara berbagai segmen masyarakat di
seluruh dunia. Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard, yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, karena
meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba. Secara mikro, qard tidak memberikan manfaat langsung
bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian
secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian qard membuat percepatan perputaran uang bertambah cepat, dan itu
artinya bertambahnya darah segar bagi perekonomian sehingga pendapatan nasional
meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan
meningkat pula pendapatannya, dan dalam hal ini sumbangan Islam bagi perbaikan
industri keuangan sangat terasa.
5.
Islam pernah menguasai dunia selama
kurang lebih 700 tahun, tentu saja prinsip-prinsip perekonomian yang
diberlakukan di wilayah kekuasaan kaum Muslim. Dan kemakmuran bersama seluruh
masyarakat yang pernah tercapai tergambar dalam sejarah pada zaman Khalifah
Umar bin Abdul Aziz di mana orang tidak tahu lagi ke mana sedekah bisa
diberikan karena tidak satu pun membutuhkan. Kisah tentang salah seorang sultan
Turki yang menaruh hasil bumi di puncak gunung agar dimakan burung-burung
karena tak ada lagi manusia yang kekurangan pangan juga bisa dimaknai bahwa
sistem perekonomian pernah mampu mewujudkan kemakmuran publik. Ini saja sudah
cukup sebagai bukti sumbangan Islam bagi industri keuangan. Selebihnya adalah
persoalan politik, dan harus diakui bahwa saat ini umat Islam berada pada
posisi tidak berdaya. Tetapi, jelas, tidak akan selamanya demikian. Sistem
keuangan Islam sudah tersedia sejak dahulu, tinggal dimodifikasi sesuai
perkembangan zaman, dan bisa diterapkan apabila umat Islam mempunyai kekuatan
politik yang memadai. Terlebih saat ini keuangan Islam sudah menjadi salah satu
segmen keuangan yang tumbuh paling cepat dalam sistem keuangan internasional.
Di tengah-tengah lingkungan lebih menantang yang disodorkan oleh krisis
keuangan internasional mutakhir, ekspansi global keuangan Islam terus
berlangsung dan perkembangannya tetap dinamis.
Daftar Rujukan
Islamic Finance
and Global Financial Stability, Islamic Financial Services Board, Islamci Development Bank, Islamic
Research and Training Institute, 2010.
Zainul Arifin, Drs., MBA, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Alvabet, Jakarta, 2002.