Saya paling tidak tahan jika ada orang membuat status di
Facebook yang intinya mencela atau memprotes isi khotbah Jum’at (yang betul
Jumat menurut KBBI, tapi ya biarin saja) yang mereka ikuti. Sebetulnya, sering,
amat sering malah, saya mengeluhkan isi khotbah Jum’at, tetapi ya saya simpan
sendiri saja, tanpa perlu mengumbarnya kepada publik. Di samping mendengarkan
khotbah itu wajib dan kalau mau protes isinya sebaiknya khatib diajak bicara
berdua saja, saya tidak mau memberi umpan empuk pada para pembenci Islam. Saya
ingat kata-kata Annemarie Schimmel, yang kurang lebih begini bunyinya: “Tidak
ada fitnah yang begitu gencar dan jahat seperti yang menimpa Islam.” Bahwa umat
Islam sekarang sedang mengalami kesulitan di mana-mana dan di segala lini, itu
fakta. Sehingga saya tidak mau menabur garam pada luka yang diderita umat Islam
sedunia. Lagi pula saya adalah bagian dari umat itu. Insya Allah.
Tak banyak khatib yang khotbahnya saya renungkan. Salah
satu dari yang tak banyak itu adalah khatib di masjid PP Taruna Al-Qur’an pada
Jum’at 8 September 2017. Intinya, penyesatan informasi tentang Muslim Rohingya
ini sudah keterlaluan. Dikatakan bahwa kaum Muslimin Rohingya adalah pendatang,
perusuh, bahkan belakangan dituding teroris. Padahal, kata khatib tadi, Islam masuk
ke Arakan pada abad pertama Hijriyah bersama para saudagar Arab. Khatib tadi
menyebut nama sahabat tapi saya lupa (sebab saya bertekad membuat tulisan ini
berdasarkan ingatan saja, saya sengaja tidak membuka Google). Lama-kelamaan
kaum Muslimin di Arakan mendirikan negara Islam di sana. Pada tahun 1700-an
negara Islam Arakan diserang kaum Buddhis dan kalah. Sejak itulah malapetaka
tak henti mendera kaum Muslimin Rohingya. Khatib menyebutkan secara kronologis
pembantaian sistematis yang tujuannya adalah melenyapkan kaum Muslimin Rohingya
di Arakan. Pendek kata, genosida. Bukan pengetahuan baru sebetulnya, tetapi
informatif dan menggugah ingatan saya pada penderitaan Rohingya yang saya baca
sewaktu kecil. Dan ajakan khatib untuk
meluruskan informasi tentang Rohingya sangat signifikan di era perang gagasan
ini. Perang di mana umat Islam babak beluk dihajar oleh, tidak saja lawan abadi
mereka yang kini menjadi Barat tetapi juga, kaum yang secara lahiriah disebut
Muslim dan Muslimah.
Tersebutlah Alissa Wahid yang mengatakan dalam salah satu
twitnya bahwa Rohingya ditindas karena operasi militer Myanmar menumpas ARSA
(Arakan Rohing Salvation Army). Saya bingung, bisa-bisanya sarjana psikologi
UGM bicara sengarang itu. Sejak SD saya sering membaca berita tentang
penderitaan Rohingya melalui majalah Pandjimas. ARSA? Ya baru dengar sekarang
ini. Sementara itu Ketua GP Ansor dalam twitnya juga tidak jauh-jauh dari pernyataan
sinis terhadap mereka yang peduli pada penderitaan Rohingya. Ini juga saya
bingung, masa orang seperti dia tidak tahu ungkapan “kal bun ya nin wahidin”, derita seorang Muslim adalah juga derita
Muslim lainnya, tolong-menolong sesama Muslim, semua Muslim bersaudara? Dan
entah berapa puluh akun twitter, yang rata-rata pemuja rezim sekarang, menyuarakan
pendapat yang kurang lebih setali tiga money. Kalau yang membuat pernyataan
seperti itu adalah akun-akun Myanmar, wajar saja. Memang begitu cara kerja
propaganda. Salah benar nomor seribu. Yang penting teriak sekencang dan
sesering mungkin. Tapi orang-orang Indonesia itu agamanya Islam juga.
Bisa-bisanya menjungkirbalikkan logika dan fakta? Tetapi ya begitulah perang
pemikiran (ghazwul fikri) dalam
prakteknya sejak dahulu. Pion-pion yang menyerang kita adalah sebagian
orang-orang kita juga. Alasannya bisa macam-macam. Dalamnya laut bisa diduga,
dalam hati siapa yang tahu.
Sejauh yang saya ketahui, Muslim Rohingya sudah ada di
Arakan sejak abad ke-8 Masehi, mereka penduduk asli negeri itu yang masuk
Islam, mereka punya kerajaan sendiri dan berhubungan erat dengan
kerajaan-kerajaan di Bengal. Setelah kemerdekaan Burma (sebelum berganti nama
menjadi Myanmar) U Nu mengeluarkan pernyataan resmi yang mengakui keberadaan
mereka sebagai warga negara Burma. Sepeninggal U Nu, yang memang negarawan
besar itu, bagi orang Rohingnya yang ada hanyalah penderitaan dan penderitaan
saja. Mereka adalah minoritas paling tertindas di dunia. Demikian menurut
lembaga-lembaga resmi dunia. Lebih menyedihkan, di negeri kita banyak orang
(yang mengaku beragama Islam dan tokoh Islam pun) sengaja menyesatkan
fakta-fakta tentang kaum Muslimin Rohingya. Biasanya dengan kalimat yang
berawal begini: “Tentu saja kita prihatin dengan persoalan Rohingya, tetapi
....” Selalu ada tetapi! Dan sesudah “tetapi” itulah sikap mereka sesungguhnya
terhadap penderitaan Rohingya (bahkan mungkin seluruh kaum Muslimin) terungkap.
Sekadar bersimpati saja mereka tidak bisa. Kadang-kadang
saya merasa sekaranglah saatnya kita melindungi diri dan keluarga sendiri.
Perintahnya begitu ketika fitnah sudah merajalela dan ada kekhawatiran kita
ikut gila. Selain doa, hanya itu yang masuk akal dan mudah dilaksanakan. Selain
mendoakan kaum Muslimin Rohingya, doakan juga diri kita agar tidak menjadi
orang munafik, yang kegirangan ketika cobaan berat menimpa kaum Muslimin.
Kasus genosida Rohingya dan sikap-sikap terhadapnya ini
mengingatkan saya pada suatu hadits yang meriwayatkan betapa di mata orang
munafik para Sahabat Rasulullah salallahu
'alaihi was salam tidak pernah melakukan hal yang benar. Ketika ada Sahabat
tidak bersedekah karena memang tidak ada yang bisa disedekahkan (untuk memenuhi
keperluan hidup saja sulit), orang-orang munafik mencela bahwa Sahabat itu
keterlaluan kikir. Ketika ada Sahabat yang bersedekah sedikit karena mampunya
segitu, orang-orang munafik menuduh dia tidak sungguh-sungguh bersedekah. Nah,
ketika ada Sahabat yang bersedekah banyak (karena dia memang kaya) para
munafikun berceloteh, “Wah, riya’
tuh.” Adapun yang dilakukan kaum munafikun? Ya mencela itu.