Penggunaan bahasa, dalam hal ini diksi, bisa membuat
orang tampak awet muda. Pemakaian kata-kata “lucuk, nyanyik, pastik, aslik,
yuks” dikabarkan bisa membikin penggunanya terkesan beberapa tahun lebih muda.
Sudah barang pasti ketentuan dan syarat berlaku. Hanya berlaku di media sosial,
utamanya Twitter, dan mensyaratkan anonimitas. Bagi yang sangat piawai—kepiawaian
yang diperoleh dengan tebusan sangat mahal: membuang-buang waktu—korting umur
itu bisa mencapai separuh usia sebenarnya. Karena anonim, andalan modus
eksistensi di Twitter orang semacam itu adalah kata-kata yang sedang “in”.
Sehingga apa pun yang mutakhir, entah itu gosip politik atau gaya bahasa, akan
diadopsi demi eksistensi di dunia maya yang kadarnya melampaui eksistensi di
dunia nyata. Secara gampangan saya melihat orang yang menolak proses alami
menjadi tua itu getol menggunakan kata-kata “age just numbers ...”
(sambil lupa bahwa liang kubur juga cuma galian satu kali dua meter, atau
ukuran-ukuran lain sesuai keyakinan keagamaan yang dianut), atau “Let your
age go old, but not your heart” dan kata-kata penghiburan hampa makna
lainnya.
Atau, anggur makin tua makin enak, kelapa makin tua makin
bersantan. Entah lupa atau tidak tahu, soal kelapa ini merujuk pada makin tua
makin bijaksana. Bukan makin sinting. Kalau makin sinting ketika kadar kegaekan
bertambah, itu tua-tua keladi. Sialnya, menurut kamus Indonesia-Inggris susunan
Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall-Tellings tua-tua keladi artinya: “the
older one gets, the stronger (sexually) one becomes; dirty old man.”
Dipikir tidak ada perempuan yang makin tua ... dan seterusnya. Entah kalau
anggur, boleh jadi itu pengibaratan yang pas untuk makin tua makin gila.
Mungkin ada yang membela diri begini, “Itu kan cuma main-main, begitu saja
diributkan?” Baiklah. Dalam kenyataan, saya sering melihat penganut ungkapan
“main-main” ini cara bermain-main katanya membikin malu. Malu sama umur. Malu
sama klaim diri sebagai perempuan sangat terhormat (sic). Malu sama Tuhan? Tidak
yakin saya, mana bisa malu sama Tuhan (yang menurut keyakinan agama-agama
langit Maha Mengetahui itu), soal jati diri saja berani menipu-Nya?
Kalau sudah terdesak, kalimat andalan impostor* (misalnya ibu-ibu lepas usia
pensiun yang menirukan anak perempuannya di penghujung remaja) semacam itu
biasanya adalah, “Kan cuma kata!” Memang ada orang yang sikap mau menang
sendirinya sudah masuk kategori sakit jiwa. Kalau kata dianggap tidak ada
artinya, buat apa orang-orang berkecenderungan IM (Ikhwanul Muslimin) sibuk
mengupayakan penggantian birthday dengan milad? Buat apa umat
Islam pada umumnya bersusah payah melawan penggunaan kata Mohammadanism dan
menuliskannya dengan Islam? Buat apa umat Islam berusaha menggusur kata Mecca
dengan Makkah? Kan, it’s just a word? Dua kalimat syahadat itu apa kalau
bukan rangkaian kata-kata? Semua orang Islam dengan pengetahuan agama standar
tahu betul ketentuan bahwa “Setiap kata yang terucap akan dimintakan
pertanggungjawabannya di Hari Pengadilan kelak,” atau anjuran “Bicaralah yang
baik atau diam.”
Itu tadi sekadar contoh ekstrem, dalam kenyataannya
mustahil ketika ditanya hakim berapa usianya seorang nenek-nenek akan menjawab,
“#eh penting ya, yang penting kan still young at heart.” Jika diminta
menunjukkan surat nikah oleh pihak berwenang, walaupun perkawinannya remuk
redam, mustahil keluar jawaban, “Kan cuma selembar kertas.” Hal yang sama
berlaku untuk STNK, kartu keluarga, akta kelahiran, kontrak kerja, SK
pengangkatan PNS, SKCK, dan segala dokumen berwujud kertas lainnya. Di dunia
nyata semua orang tahu, dan suka atau tidak harus menerima, arti penting
legalitas.
Sayangnya, belum saya jumpai adanya penelitian tentang
penggunaan kata secara serampangan untuk keperluan “awet muda” dengan semakin
maraknya pemakaian kata yang berbeda dari definisi orisinalnya. Tidak jelas ada
hubungannya atau tidak, tetapi jelas bahwa kedua fenomena ini berjalan seiring.
Contoh sederhana adalah kata “secara”. “Secara gw kuliah di UI,” tampaknya
secara adalah kata ganti untuk karena, atau mengingat. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia secara berarti (1) sebagai; selaku atau (2) menurut (tentang
adat, kebiasaan, dan sebagainya) atau (3) dengan cara; dengan jalan, atau (4)
dengan. Lama-kelamaan, bersama geming, acuh, nyinyir, kata “secara” boleh jadi
lazim digunakan menyimpang dari makna kata sesungguhnya, atau makna yang sudah
lama lazim dipahami, seperti yang menimpa kata “malam”.
Ketika televisi swasta mulai bermunculan, awal tahun
1990-an, dan rajin menyiarkan pertandingan sepak bola secara langsung, pernah
ada seorang pembawa acara membuka perjumpaan dengan salam, “Selamat malam,
pemirsa ....” Komentator pengisi acara, seolah melihat sang pembawa acara
melakukan dosa besar, langsung menegur, “Bung, ini sudah lewat pukul 00.00,
jadi seharusnya selamat pagi.” Lewat tengah malam (dari kata ini sudah jelas
bahwa lepas pukul dua belas malam adalah masih malam juga) saya sering
mendengar para penyiar radio mengucap salam “Selamat dini hari”. Ada benarnya
juga ungkapan bahwa kemajuan teknologi memendekkan malam. Daniel Yergin
mengungkapkan malam yang kian pendek, sehubungan dengan minyak, dalam bukunya The
Price seperti berikut, “In its first decades, the oil business provided
an industrializing world with a product called by the made-up name of “kerosene”
and known as the “new light”, which pushed back the night and extending the
working day.”
Namun, uraian Yergin lebih bersifat konotatif. Hanya
menunjukkan jam kerja yang bertambah panjang, sehingga semakin banyak orang
yang bekerja setelah hari berganti malam. Secara bahasa, menurut
Merriam-Webster: night, (1) the time from dusk to dawn when no sunlight is
visible; (2) a. an evening or night taken as an occasion or point of time
<the opening night> b. an evening set aside for particular purpose; (3) the quality or state of being dark, b. the condition or period felt to resemble the darkness of night. Kamus-kamus lain menyampaikan definisi yang sama, dengan redaksi kata-kata yang berbeda. Pengertian-pengertian tersebut berlaku juga untuk konsep malam panjang yang di negeri kita dikaitkan dengan malam Minggu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
malam adalah “Waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit”.
Sedangkan, menurut fikih, hal-hal yang dilarang dilakukan selama puasa boleh
dilakukan di malam hari. Artinya, pukul 00:40 bolehlah makan, minum, dan
lain-lain yang akan membatalkan puasa jika dilakukan setelah terbit matahari
hingga terbenamnya. Pengertian malam yang mempunya konsekuensi hukum umum bisa
dijumpai dalam, salah satunya, rangkaian kata-kata berikut, “Barang siapa
menjadikan sebagai pencarian untuk memberi tempat bermalam kepada orang lain,
dan tidak mempunya register terus-menerus, atau tidak mencatat atau menyuruh
catat nama, pencarian atau pekerjaan, tempat kediaman, hari datang dan perginya
orang yang bermalam di situ, atau atas permintaan kepala polisi atau pejabat
yang ditunjuk untuk itu, tidak memperlihatkan registes itu, diancam dengan
pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 516).” Menurut Pasal 98 kitab undang-undang
ini yang disebut waktu malam yaitu waktu antara matahari terbenam dan matahari
terbit.
Kendati demikian, bukankah mustahil ada orang yang akan
datang ke suatu rapat pukul 00:15 ketika ada undangan lisan, “Besok pagi kita
rapat di kantor”? Apakah akan ada penjaga malam yang cukup sinting untuk
mengakhiri jam kerjanya pukul 00:01? Apakah ada negara yang cukup bodoh
mengakhiri jam malam pada pukul 00:10? Kenapa harus meributkan malam dan
kata-kata lainnya yang hanya kata itu? Karena “Pada mulanya adalah kata”
(Yohanes 1:1). Karena bahasa menunjukkan bangsa.
* one that assumes
false identity or title for the purpose of deception