Beginilah seharusnya nenek, bukan twitteran layaknya ABG. |
Hawe Setiawan pernah mengatakan bahwa keterbatasan
karakter dalam SMS mestinya melatih kita terampil meringkas, bukan meringkus, bahasa.
Kawan saya itu tampaknya kesal dengan singkatan-singkatan astajim, ass, awewe, dan
lain sebagainya yang lazim kita jumpai dalam layanan pesan singkat. Sudah barang
tentu saya sepakat dengan Hawe. Kendati saya tidak terlalu risau dengan sempat merebaknya
b4hA5a 4LaY di Twitter yang sering saya jumpai. Saya juga senang-senang saja dengan
beredarnya ilysm untuk I Love You So Much, mbb untuk Maaf Baru Balas, dan
istilah-istilah ajaib semacam itu. Buat apa meributkan kegembiraan bocah-bocah lima
belasan tahun? Kalau dibiarkan, penggunaan istilah-istilah “kekiniyan” yang “warbyasak”
itu bisa merusak bahasa? Saya tidak yakin itu, sebab saya yakin para pemakai
istilah “fun” itu mustahil akan membuat karya tulis yang dibuka dengan kalimat
begini: “Vrooooh, biar loe gak kudet gw mo nulis soal cabe-cabean dan
pengaruhnya pada perekonomian. Boleh keleussss?” Sama yakinnya saya dengan Dian
Sastro tidak menulis pengantar tesisnya dengan “Terus, salah temen-temen guweh?
So what gitu loh?”
Pola berbahasa semacam itu adalah tren singkat yang sudah
ada sejak saya bisa mengingat maraknya ungkapan “salome”, “indehoy”, “assoy”, “wakuncar”,
“gacoan”, “ngapel” dan sejenisnya. Tak akan lama umurnya. Biarkan saja. Percuma
mendakwa hal itu sebagai dekadensi berbahasa. Berderet-deret penggantinya sudah
siap mengantre. Patah tumbuh hilang berganti begitulah. Sekarang mudah
ditemukan kosakata “mongken”, “akoh”, “lucuk”, “nyanyik”, “yuuuksss” yang sulit
dipahami jika alasan penggunaan mereka adalah keterbatasan 140 karakter. Bagaimanapun,
kata-kata temporer itu mengasyikkan rasanya, asalkan, selalu ada catatannya memang,
dipakai sesuai usia. Saya masih bisa mengerti jika usia penggunanya di bawah 35
tahunan—apalagi cakep (wkwkwkwkwk). Di luar itu, sudah bukan lagi soal bahasa.
Itu soal kejiwaan.