Pages

Friday, August 21, 2015

Yuuks, nyanyik lucuk

Nenek tua sinting tak tahu diri bukannya dizikir malah twitteran menyamar sebagai gadis belia dengan bahasa 4LAy
Beginilah seharusnya nenek, bukan twitteran layaknya ABG.


Hawe Setiawan pernah mengatakan bahwa keterbatasan karakter dalam SMS mestinya melatih kita terampil meringkas, bukan meringkus, bahasa. Kawan saya itu tampaknya kesal dengan singkatan-singkatan astajim, ass, awewe, dan lain sebagainya yang lazim kita jumpai dalam layanan pesan singkat. Sudah barang tentu saya sepakat dengan Hawe. Kendati saya tidak terlalu risau dengan sempat merebaknya b4hA5a 4LaY di Twitter yang sering saya jumpai. Saya juga senang-senang saja dengan beredarnya ilysm untuk I Love You So Much, mbb untuk Maaf Baru Balas, dan istilah-istilah ajaib semacam itu. Buat apa meributkan kegembiraan bocah-bocah lima belasan tahun? Kalau dibiarkan, penggunaan istilah-istilah “kekiniyan” yang “warbyasak” itu bisa merusak bahasa? Saya tidak yakin itu, sebab saya yakin para pemakai istilah “fun” itu mustahil akan membuat karya tulis yang dibuka dengan kalimat begini: “Vrooooh, biar loe gak kudet gw mo nulis soal cabe-cabean dan pengaruhnya pada perekonomian. Boleh keleussss?” Sama yakinnya saya dengan Dian Sastro tidak menulis pengantar tesisnya dengan “Terus, salah temen-temen guweh? So what gitu loh?”
Pola berbahasa semacam itu adalah tren singkat yang sudah ada sejak saya bisa mengingat maraknya ungkapan “salome”, “indehoy”, “assoy”, “wakuncar”, “gacoan”, “ngapel” dan sejenisnya. Tak akan lama umurnya. Biarkan saja. Percuma mendakwa hal itu sebagai dekadensi berbahasa. Berderet-deret penggantinya sudah siap mengantre. Patah tumbuh hilang berganti begitulah. Sekarang mudah ditemukan kosakata “mongken”, “akoh”, “lucuk”, “nyanyik”, “yuuuksss” yang sulit dipahami jika alasan penggunaan mereka adalah keterbatasan 140 karakter. Bagaimanapun, kata-kata temporer itu mengasyikkan rasanya, asalkan, selalu ada catatannya memang, dipakai sesuai usia. Saya masih bisa mengerti jika usia penggunanya di bawah 35 tahunan—apalagi cakep (wkwkwkwkwk). Di luar itu, sudah bukan lagi soal bahasa. Itu soal kejiwaan.

No comments:

Post a Comment